PEMIKIRAN EKONOMI IMAM AL-GHAZALI
Oleh : Khilmi Zuhroni
Memasuki
abad ke-10 masehi peradaban Islam mengalami masa yang disebut dengan masa
disintegrasi. Masa-masa kejayaan pemerintahan bani Abbasiyah yang terjadi sebelum masa ini (periode
pertama) yang ditandai dengan perkembangan peradaban dan kemajuan diberbagai bidang telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung hidup dalam kemewahan yang mencolok.
Disintegrasi ini ditandai dengan kelahiran dinasti-dinasti baru dan
dinasti-dinasti lama yang ingin melepaskan diri dari daulah Abbasiyah seperti:
dinasti Saljuk, dinasti Idrisiyyah di Maroko, dinasti Alawiyah, dinasti
Hamdaniyah dan sebagainya.
Pada
abad ke-11 masehi, dunia Islam mengalami kemajuan kembali setelah sebelumnya
pada abad ke-10 mengalami kemunduran. Kemajuan ini sekalipun tidak begitu
signifikan, namun cukup terasa, khususnya di bidang politik dan sosial. Secara
politik, telah terjadi pergeseran kekuasaan dari Bani Buwaih kepada Bani
Saljuk. Oleh karena itu, pada periode ini sering dikaitkan dengan periode
kekuasaan Bani Saljuk atas Dinasti Abbasiyah.
Selain
dalam bidang politik dan sosial, kemajuan Islam juga terjadi dalam bidang ilmu
pengetahuan. Kemajuan ini ditandai dengan didirikannya berbagai madrasah
sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya adalah berdirinya
madrasah Nizamiyah pada tahun 1067 M. yang didirikan oleh Nizam al-Mulk seorang
perdana menteri pada masa Alp Arselan.
Pada
situasi politik dan keadaan sosial seperti itulah, Imam Al-Ghazali lahir, tumbuh
dan berkembang. Pemikiran al-Ghazali yang mula-mula sekali adalah kritiknya
atas pemikiran Islam yang didominasi oleh pengaruh filsafat hellenistik yang
banyak dianut oleh pemikir-pemikir muslim pada masa itu. Konsep neoplatonisme
yang dianut oleh al-Farabi dan Ibnu Sina menurut al-Ghazali banyak yang tidak
sejalan dengan ajaran-ajaran Islam bahkan kacau dan menyesatkan. Al-Ghazali
menolak dengan tegas metode filsafat yang digunakan dalam memahami dan
pengembangkan pemikiran Islam. Tujuan
al-Ghazali dengan tour de force-nya itu ialah membela dan
menggiatkan kembali kajian keagamaan, sehingga karya utamanya pun diberi judul Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Dan begitu pula, bahwa
ia menulis karya polemisnya yang besar dan abadi, Tahāfut al-Falāsifah (Kekacauan
Para Filosof), adalah, katanya sendiri, karena terdorong oleh gejala
berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang meninggalkan ibadat.
Meskipun
ia sendiri seorang pemikir sistematis dan rasional besar yang pada intinya
menggabungkan filsafat dengan ilmu kalam, namun ia dengan jelas melihat
keterbatasan ilmu kalam itu, dan meyakini bahwa agama haruslah terutama berupa
pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud seorang sufi. Pandangan tentang zuhud dan tasawuf
inilah yang selanjutnya banyak mempengaruhi al-Ghazali dalam
pemikiran-pemikiran keagamaannya termasuk pemikirannya tentang ekonomi.
Pemikiran
al-Ghazali tentang ekonomi inilah yang akan menjadi fokus dari penulisan
makalah ini. Selain itu untuk menambah wawasan tentang pemikiran al-Ghazali,
dalam makalah ini akan dilakukan pembahasan secara singkat tentang riwayat
Al-Ghazali dan karya-karyanya.
1.
Riwayat Hidup Al-Ghazali (1058 – 1111 M)
Nama
lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad at-Thusi al-Ghazali. Lahir di kota
Gazalah sebuah kota kecil dekat Thus, Khurasan, suatu tempat kira-kira sepuluh
mil dari Naizabur, Iran pada tahun 450 H/1058 M. al-Ghazali dikenal sebagai
seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filsuf, dan sufi
termasyhur. Khurasan ketika itu
merupakan salah satu kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Nama al-Ghazali dan at-Thusi dinisbahkan kepada tempat kelahirannya.
Ia
lahir dari keluarga yang taat beragama dan menjalani kehidupan dalam suasana
yang sederhana. Ayahnya seorang pemintal wol di kota Thus. Latar belakang
pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran pada ayahnya sendiri. Sepeninggal
ayahnya, al-Ghazali dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin
Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar. Padanya al-Ghazali belajar ilmu fiqh,
riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, ia belajar
juga menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan,
Al-Quran dan Sunah.
Sejak
muda, al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Dari pendidikan
pertamanya di kota Thus, ia kemudian melanjutkan belajar dasar-dasar ushul fiqh
di kota Jurjan. Sekembalinya ke ota Thus untuk beberapa waktu, al-Ghazali
melanjutkan perjalanannya ke kota Naisabur untuk belajar ilmu di sana. Di kota
Naisabur, ia belaar kepada al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juawaini. Ia belajar selama delapan tahun, yaitu sampai meninggalnya sang
guru tahun 478/1085. Di sini ia belajar
hukum Islam dengan berbagai cabangnya sebagai
keahlian utama dan membuat catatan kuliah di bidang teori hukum.
Disamping itu dia juga mempelajari teologi, logika dan filsafat.
Setelah delapan tahun bersama al-Juwaini sebagai murid dan
asisten, al-Ghazali muda dalam usia dua
puluh delapan tahun, meninggalkan Naisabur dan pergi ke Mu’askar (kota-kamp)
dimana Menteri Saljuk Nizam al-Mulk tinggal. Di istananya di kota Nizam al-Mulk
ia mengadakan majelis pelajaran dan diskusi yang dihadiri oleh para ulama di
zamannya. Dengan mengingat sifat dari majlis Nizam al-Mulk di kota ini dapat
diduga bahwa al-Ghazali bekerja disini melakukan pengkajian untuk mengembangkan
ilmu melalui kegiatan mengajar, diskusi dan menulis. Para biographer mencatat bahwa
di sini namanya menanjak dan mendapatkan simpati dari Menteri Nizam yang
kemudian mengangkatnya ketika ia berusia tiga puluh empat tahun sebagai
mahaguru di perguruan yang didirikannya di Baghdad.
Tahun 484/1091 al-Ghazali berangkat ke Baghdad dan dari sini
selama empat tahun hingga 488/1095, ia memberi kuliah di Perguruan Nizamiah
dengan mahasiswa sekitar tiga ratus orang sambil menulis buku-buku. Pada
tahun-tahun inilh al-Ghazali banyak melakukan kajian-kajian terhadap berbagai
pemikiran yang berkembang pada masa itu. Ia banyak melakukan bantahan-bantahan
terhadap berbagai pemikiran Batiniyah, Ismaliyiyah, filosof dan lain-lain.
Sekalipun ia telah menjadi guru besar, ia masih merasakan kehampaan dan
keresahan dalam dirinya. Akhirnya setelah merasakan bahwa hanya kehidupan
sufistik yang mampu memenuhi kebutuhan rohaninya, al-Ghazali memutuskan untuk
menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Tahun 488/1095 al-Ghazali meninggalkan Bagdad dan pergi menuju
Syiriah untuk merenung, membaca, dan menulis. Selama kurang lebih dua tahun
tinggal di Bagdad, ia melanjutkan perjalanannya ke Palestina, mengasingkan diri
di Baitul Maqdis untuk melakukan
aktivitas yang sama, yakni merenung, membaca dan menulis. Setelah menunaikan
ibadah haji dan menetap beberapa waktu di Iskandariah, Mesir, pada tahun 1105 M
al-Ghazali kembali ke tempat kelahirannya di Thus. Proses pengasingan yang
berlangsung kurang lebih 12 tahun tersebut, ia banyak menghasilkan berbagai
karya-karya yang terkenal diantaranya adalah kitab Ihya’ Ulum al-Din.
Di tanah kelahirannya inilah al-Ghazali meninggal pada 19 Desember 1111 M/505 H. setelah mengadakan perjalanan untuk mencari
ilmu dan ketenangan batin dari berbagai negeri yang ia kungjungi.
2.
Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan sosok ulama dan penulis yang sangat
produktif. Julukan Hujjatul Islam adalah sebutan yang sangat tepat untuk
disematkan kepada ulama dengan karya pemikiran yang sulir dicari bandingnya
dalam kancah intelektual muslim. Selama lurang lebih 30 tahun, al-Ghazali telah
menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti
tasawuf, logika, filsafat, tafsir, fiqh, akhlak, politik dan ekonomi. Diantara
karya al-Ghazali yang peling populer adalah : al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat
al-Mulk, Ihya’ Ulum al-Din, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, al-Mustasfa min Ilm
al-Ushul, Mizan al-Amal, dan al-Munqidh min al-Dhalal.
Dalam bidang tasawuf, karya al-Ghazali antara lain : Adab
al-Shufiyah, Adab al-Din, Kitab Arbain fi Ushul al-Din, al-Imla’ an Asykal
al-Ihya’, Ihya’ Ulum al-Din, Bidayah
al-Hidayah, Jawahir al-Quran al-Dauruha, al-Hikmah fi al-Makhluqat Allah, dan
Mizan al-Amal. Dalam bidang akidah antara lain: al-Ajwabah al-Ghazali fi
Masail al-Ukhrawiyah, al-Iqtishad al-I’tiqad, al-Jami’ al-Ulum an Ilm al-Kalam.
Dalam bidang ilmu fiqh karya al-Ghazali antara lain: Israr al-Haj,
al-Mushthafa fi al-Ilm al-Ushul, dan al-Wazir fi al-Furu’. Sedangkah dalam
bidang logika dan filsafat karya al-Ghazali antara lain: Tahafut
al-Falasifah, Risalah al-Thayir, Miskat al-Anwar, Madkhal al-Nazri fi
al-Manthiq, Maqar al-Quds fi Madarij Ma’rifah an-Nafs, Miyar al-Ilm fi
al-Manthiq, Maqashid al-Falasifah, dan al-Munqidz min al-Dhalal.
3.
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali sebagaimana
sudah disebut pada bab terdahulu banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
kaum sufi pada waktu itu. Selain itu keprihatinannya pada metode filsafat
Yunani yang dijadikan landasan dalam mengambangkan pemikiran Islam bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri. Seperti halnya pemikiran muslim pada masanya,
perhatian kajian al-Ghazali tidak terfokus pada satu bidang tententu, tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia melakukan studi keislaman secara
luas untuk mempertahankan ajaran Islam. Oleh karena itu tidak ada karya tulis
al-Ghazali yang secara khusus membahas ekonomi Islam. Tetapi mengingat
aktivitas ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, khususnya fiqh Islam, pemikiran-pemikiran al-Ghazali tentang
ekonomi dapat ditelusuri dari karya-karya tulisnya yang lain.[13]
Beberapa karya al-Ghozali yang membahas ekonomi sebagiannya dapat
ditemukan antara lain pada kitab al-Ihya’ Ulum al-Din, al-Mustashfa, Mizal
al-Amal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.[14]
a.
Konsep Dasar Pemikiran Ekonomi al-Ghazali
Pemikiran al-Ghazali sebenarnya adalah merefleksi pemikiran
makronya bahwa Islam adalah kemaslahatan. Oleh karena itu, setiap kegiatan
ekonomi harus berorientasi pada kemashalatan. Kemashalatan menurut al-Ghazali terdiri
dari dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Dharuriyah adalah
kebutuhan pokok (primer), Hajiyah adalah kebutuhan pelengkap
(skunder), dan Tahsiniyah adalah
kebutuhan akan kemewahan (lux).
Pemiran ekonomi al-Ghazali berakar pada sebuah konsep yang dia
sebut sebagai “Fungsi kesejahteraan sosial Islam”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya adalah konsep
maslahat atau kesejahteraan sosial (utulitas/kebaikan bersama), yakni sebuah
konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat
antara individu dan masyarakat. Menurut al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat akan
tercapai jika tujuan aktivitas ekonominya berorientasi pada lima tujuan dasar,
yakni : agama (al-Din), hidup dan jiwa (al-Nafs), keluarga dan
keturunan (al-Nasl), harta atau kekayaan (al-Mal), dan intelek
atau akal (al-Aql). Tujuan utama kehidupan manusia adalah untuk mencapai
kebaikan di dunia dan akhirat.
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan aktivitas ekonomi setiap manusia
adalah menuju hari akhir atau hari pembalasan. Menurut beliau, makna sebuah
kekayaan adalah pencapaian menuju kesuksesan hidup yang abadi. Kekayaan dalam
filosofi hidup harus diwujudkan dalam konsep tauhid (mengesakan Allah SWT),
akhirat (hari pembalasan), dan risalah (aturan-aturan yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW), yang dibuktikan dengan amal perbuatan.
Dalam konteks filosofi, Al-Ghazali membagi pelaku-pelaku
ekonomi/masyarakat atau individu menjadi tiga kelompok besar. Yaitu: Pertama,
kelompok masyarakat yang secara ekonomi berkecukupan tetapi mereka
melupakan terhadap tempat mereka akan kembali, yaitu alam akhirat. Mereka
adalah kelompok masyarakat yang akan sengsara hidupnya. Kedua, kelompok
masyarakat yang selalu memperhatikan dalam menjaga aktivitas perekonomiannya
dengan alam akhirat. Kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang
sukses/selamat dalam hidupnya. Ketiga, kelompok masyarakat yang
ragu-ragu menghubungkan aktivitas perekonomiannya dengan alam akhirat. Kelompok
masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang mendekati jalan tengah/jalan
kebaikan.
b.
Gagasan Ekonomi al-Ghazali
1)
Pertukaran dan Evolusi Pasar
Terkait pertukaran, Al-Ghazali menyuguhkan pembahasan yang rinci
mengenai aktivitas perdagangan yang dilakukan atas dasar sukarela, serta proses
timbulnya pasar yang didasarkan pada hukum permintaan dan penawaran untuk
menentulan harga dan laba. Dari konsep
ini al-Ghazali tampaknya membangun
dasar-dasar dari apa yang dalam ekonomi konvensional disebut dengan “semangat
kapitalisme”.
Bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam”
segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri
sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Dalam sebuah karyanya
al-Ghazali mendeskripsikan tentang hubungan ekonomi antara petani, pandai besi
dan tukang kayu untuk menggambarkan proses kebutuhan barang-barang dan tenaga
antara ketiganya serta kemungkinan-kemungkinan hubungan pertukatan dan
permintaan ketiganya yang didasarkan pada kebutuhan masing-masing barang yang
dimiliki oleh ketiganya serta kemungkinan terbentuknya pasar dari adanya
kebutuhan ekonomi antara petani, pandai besi dan tukang kayu tersebut.
Pada proses hubungan mutual antara petani, pandai besi dan tukang
kayu tersebut, al-Ghazali selanjutnya mengisaratkan adanya harga yang berlaku
sebagaimana ditentukan oleh praktik pasar hingga menunjukkan harga yang adil (al-Tsaman
al-Adl) atau harga keseimbangan (equilibrium price). Menurut
al-Ghazali, dalam pertukaran tersebut, kurva penawaran berada pada slope
positif jika petani tidak mendapatkan pembeli pada produk-produknya sehingga ia
akan menjualnya pada harga yang sangat rendah.
Dalam pandangan al-Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika
dan moral para pelakunya. Segala interaksi yang terjadi antara pembeli dan
penjual harus memenuhi prinsip-prinsip etika yang berlaku, yakni sesuai dengan
syariah. Secara khusus al-Ghazali memperingatkan larangan mengambil keuntungan
dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan
barang merupakan kezaliman yang besar, terutama disaat terjadi kelangkaan. Oleh
karenanya pelakunya harus dikutuk.
Al-Ghazali menyebutkan ada enam pedoman mengenai pelaksanaan
kebijakan di pasar :
(1)
Penjual
tidak boleh menetapkan harga yang mengasilkan keuntungan berlebihan.
(2)
Pembeli
harus toleran ketika tawar-menawar dengan penjual miskin dan ketat saat
bertransaksi dengan penjual yang kaya.
(3)
Ketika
mencari pembatalan transaksi atau meminta pembayaran utang, seseorang harus
lembut dan fleksibel untuk mengakomodasi keadaan pihak lain.
(4)
Ketika
seseorang berutang kepada yang lain, dia harus cepat dalam pembeyaran sehingga
tidak ada ketidaknyamanan bagi pihak lain.
(5)
Jika
seseorang ingin membatalkan transaksi, pihak lain harus mencoba untuk
mengakomodasi permintaan tersebut.
(6)
Seseorang
harus bersedia untuk menjual kepada orang miskin yang tidak memiliki sarana dan
harus memberikan kredit kepada mereka tanpa harapan pelunasan.
Al-Ghazali mengingatkan beberapa hal pokok yang wajib diketahui
oleh setiap individu dalam menjalankan aktivitas perekonomian mereka, yaitu
pengaturan Islam tentang ba’i (jual beli), riba (bunga), salam (pembelian di
muka), ijarah (sewa-menyewa), musyarakah (kerjasama), dan mudharabah (bagi
hasil). Pada prinsipnya aktivitas perekonomian tersebut harus dijalankan sesuai
dengan aturan yang tertera dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Khusus
mengenai aturan al-Ba’I atau jual-beli, al-Ghazali menjelaskan bahwa
dalam transaksi jual beli, harus menuhi tiga elemen (unsur), yaitu: adanya dua orang/pihak
yang bertransaksi, yakni adanya pembeli
dan penjual, adanya komoditas yang diperjualbelikan, baik barang maupun jasa,
dan adanya akad atau pernyataan kesepakatan dalam perdagangan antara pembeli
dan penjual.
Menurut al-Ghazali, komoditas yang diperjualbelikan tersebut harus
memenuhi beberapa kriteria, yakni: Pertama, barang atau jasa yang
diperjualbelikan harus halal. Kedua, barang yang diperjualbelikan harus memiliki
nilaiguna dan kemanfaatan bagi si pembelinya. Karena itu, al-Ghazali berpendapat
bahwa memperjualbelikan binatang seperti ular dan tikus yang dapat membahayakan
bagi si pembelinya dilarang dalam ekonomi Islam.
2)
Aktivitas Produksi
Dalam hal aktivitas produksi, Al-Ghazali berpandangan bahwa kerja
adalah bagian dari ibadah. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa memproduksi
barang-barang kebutuhan pokok/dasar adalah sebuah kewajiban sosial (Fardu Kifayah).
Dalam hal tersedianya barang-barang kebutuhan pokok, negara harus bertanggung
jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan barang-barang pokok.
Ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan
yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak tatanan sosial.
Secara garus besar, al-Ghazali membagi aktivitas produksi menjasi
tiga, yakni: Pertama, Industri Dasar. Yakni industri-industri yang
menjaga kelangsungan hidup manusia. Seperti: industri makanan (agrikultur),
industri tekstil (pakaian), konstruksi perumahan, dan aktivitas negara
(infrastruktur untuk memudahkan produksi kebutuhan pokok); Kedua,
Industri Penyokong. Yakni aktivitas penyokong yang bersifat tambahan bagi
industri dasar. Seperti: industri baja, eksplorasi dan pengembangan tambang serta
sumber daya hutan; dan Ketiga, Aktivitas Komplementer. Yakni
aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar. Seperti : penggilingan dan
pembakaran produk-produk agrikultur.
3)
Barter dan Evaluasi Uang
Al-Ghazali menganggap bahwa penemuan dirham dan dinar sebagai uang
yang berfungsi untuk alat tukar atau transaksi ekonomi adalah salah satu berkat
terbesar dari Allah SWT. namun keduanya harus memiliki ukuran sebagai standar.
Fungsi uang adalah sebagai media yang bisa mengatur dengan adil dan menentukan
nilai sesuai dengan tempatnya dalam pertukaran. Ketika tempat dan nilainya
dipastikan, hal dapat digunakan untuk membedakan mana yang sama dan mana yang
tidak sama satu sama lain.
Manurut al-Ghazali, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai
pengatur dan alat tukar untuk semua barang dan nilai barang yang diukur melalui
keduanya. Allah menciptakan dirham dan dinar untuk mengubah tangan (untuk
peredaran) dan untuk menegakkan aturan antara pertukaran barang dengan keadilan
dan membeli barang-barang yang memiliki kegunaan. Uang itu tidak memiliki tjuan
sendiri, tetapi berfungsi sebagai media untuk pertukaran barang. Setiap orang
yang menggunakan uang tidak sesuai dengan tujuan dan fungsinya berarti dia
tidak bersyukur atas karunia Allah SWT. Jika ada orang yang menimbun dirham dan
dinar dia adalah seorang pelanggar dan telah merusak tatanan kehidupan ekonomi
masyarakat.
Uang menurutnya bukanlah komoditas, sehingga tidak dapat
diperjualbelikan, karena memperjualbelikannya ibarat memenjarakan uang, sebab
hal ini akan mengurangi jumlah uang yang berfungsi sebagai alat tukar. Uang
dapat saja tidak terbuat dari emas atau perak, misalnya uang kertas, tetapi
pemerintah wajib menyatakannya sebagai alat pembayaran yang resmi. Ia menyatakan bahwa pemalsuan uang (maghsyusy)
adalah sangat berbahaya karera dampaknya yang berantai, bahkan lebih berbahaya
daripada pencurian uang.
Berkaitan dengan penurunan nilai uang, al-Ghazali berpendapat bahwa
apabila penurunan itu disebabkan oleh individu karena adanya tindakan
penimbunan uang, penipuan dan tindakan buruk lainnya, hal itu termasuk
perbuatan yang dilarang. Namun jika penurunan nilai uang itu sebagai bentuk
kebijakan negara, hal tersebut dapat diterima. Sebab negara berkewajiban
mengatur nilai uang untuk menjamin nilai tukar uang yang stabil dan untuk
kesejahteraan umum.
4)
Peranan Negara dan Keuangan Publik
Negara memiliki perang yang sangat penting tidak saja dalam menjaga
keharmonisan ekonomi masyarakat, tetapi juga pemenuhan syariah. Bagi al-Ghazali
negara dan agama merupakan pilar yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang
tertib. Agama adalah fondasi dan kepala negara adalah pengatur dan
pelindungnya. Kecenderungan adanya konflik kebutuhan antara masyarakat hanya
bisa dikendalikan jika terdapat peraturan-peraturan yang disepakati secara
kolektif dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang memadai. Oleh karenanya
peran negara sebagai pengontrol dan pengawas peraturan-peraturan itu menjadi
sangat penting.
Menurut al-Ghazali, untuk meningkatkat kemakmuran ekonomi, negara
harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan, serta stabilitas. Negara
harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk menegakkan kondisi keamanan
internal dan eksternal. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam
menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan
ekonomi. Gabaran mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh negara dan
penguasa dituliskan oleh al-Ghazali dalam sebuah buku tersendiri, yakni Kitab
Nasihah al-Muluk.
Pokok pemikiran al-Ghazali dalam buku tersebut termuat dengan
adanya prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh kepala negara/penguasa.
Diantara prinsip tersebut adalah bahwa penguasa tidak boleh menyalahgunakan
kekuasaan, tidak boleh bersikap sombong, tidak terbuai oleh sanjungan, serta
penguasa harus senantiasa bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu yang bisa
jadi memberikan fatwa-fatwa yang tidak benar sesuai ajaran agama. Selain
mengutarakan prinsip-prinsip dalam pemerintahan, al-Ghazali juga memberikan
kritik terhadap penyelenggara negara. Ia mengutuk penyuapan dan korupsi yang
terjadi di sektor publik, khususnya dalam lembaga penegak keadilan.
Dengan nada yang sama, al-Ghazali memperingatkan penguasa agar
tidak larut dalam memperturutkan hasrat-hasrat duniawi, yakni sesuatu yang
tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga menganggu
pengelenggaraan negara.
Terkait dengan keuangan
publik, al-Ghazali memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai peran dan
fungsi keuangan publik. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam keungan
publik, yakni: Sumber pendapatan negara, Utang negara, dan pengeluaran negara.
Sumber pendapatan negara, menurut al-Ghazali harus dilakukan
pendataan mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk
baik Muslim maupun Non-Muslim berdasarkan hukum Islam. Terhadap masyarakat
muslim, al-Ghazali mengidektifikasi beberapa sumber pendapatan, diantaranya :
harta tanpa ahli waris yang pemiliknya tidak dapat dilacak, zakat, shadaqah dan
sebagainya. Terkait dengan pajak, menurutnya harus ditolak, sebab pemberlakuan
pajak pada masanya hanya didasarkan pada adat kebiasaan yang berlaku, bukan
berdasarkan hukum ilahi.
Sedangkan sumber pendapatan dari non-muslim adalah pajak-pajak yang
dikumpulkan dari non-muslim berupa ghanimah, fai, jaziyah, dan upeti. Ghanimah
atau harta rampasan perang adalah pajak atas harta yang disita setelah atau
selama perang. Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui pererangan.
Jizyah dikumpulkan dari kaum non-muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan:
pembebasan wajib militer dan perlindungan hak-hak sebagai penduduk. Menurut
al-Ghazali, negara dapat menetapkan pungutan diluar ketentuan agama, selama
pungutan tersebut digunakan untuk kebutuhan mendesak, atau negara dalam kondisi
terancam.
Al-Ghazali menyarankan agar dalam memanfaatkan pendapatan negara,
negara bersifat fleksibel yang berdasarkan kesejahteraan. Jika pengeluaran
publik dapat memberikan kesejahteraan sosial yang lebih banyak, penguasan dapat
memungut pajak baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada.
Terkait utang publik, al-Ghazali memandang bahwa utang negara harus
didasarkan pada pertimbangan kondisi ekonomi yang sesungguhnya. Negara boleh
saja melakukan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali
dari pendapatan di masa yang akan datang. Ia menekankan harus ada alasan yang
rasional kenapa negara melakukan kebijakan utang, serta atas dasar apa
dana-dana tersebut digunakan.
Berkenaan dengan pengeluaran publik, al-Ghazali bersikap kritis
mengenai tata cara dan wilayah pengeluaran publik. Menurutnya, pengeluaran
publik harus didasarkan pada pertimbangan kebutuhan kesejahteraan bersama untuk
tujuan kemaslahatan sosial. Penguasa harus mengalokasikan dana kepada orang yang
pantas menerimanya, bukan kepada meraka yang dipandang berguna untuk
kepentingan pribadi pengusa. Pengeluaran publik seharusnya digunakan untuk
membangun infrastruktur sosialekonomi untuk meningkatkan sumber daya publik,
seperti: jembatan, bangunan keagamaan, lembaga pendidikan, jalan-jalan dan
aktifitas lainnya yang manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.
Di samping itu, al-Ghazali menekankan kejujuran dan efesiensi dalam
urusan sektor publik, ia memandang perbendaharaan publik sebagai amanat yang
digepang oleh penguasa, karenanya penguasa tidak boleh bersikap boros.
Pemikiran ekonomi al-Ghazali secara umum terdapat dapat beberapa
kitab yang ditulisnya. Ia tidak membukukan secara khusus pemikiran ekonominya
dapat buku tertentu. Namun demikian al-Ghazali memiliki pendangan yang sangat
mendalam dan universal mengenai konsep ekonomi. Sebagai pemikir, filosof, ahli
fiqh dan sekaligus sufi, pemikiran ekonomi al-Ghazali banyak didasarkan pada
pendekatan tasauf, yakni pendekatan-pendekatan spiritual yang dibangun dengan
pondasi-pondasi logika filsafat dan syariat yang selaras dengan jiwa ajaran
Islam. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan aktivitas ekonomi setiap manusia
adalah menuju hari akhir atau hari pembalasan. Sebuah kekayaan adalah pencapaian
menuju kesuksesan hidup yang abadi. Kekayaan dalam filosofi hidup harus
diwujudkan dalam konsep tauhid (mengesakan Allah SWT), akhirat (hari
pembalasan), dan risalah (aturan-aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW),
yang dibuktikan dengan amal perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Mukhtasar al- Ihya’ Ulum al-Din, (Terj.
Zaid Husein Al Hamid), Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2 (Cet. 4), Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeven, 1997.
Findi,
Muhammad. Membedah Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali, Iqtishodia: Jurnal
Ekonomi Islam Republika, 30 September 2010.
Janwari,
Yadi. Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Rasulullah hingga Masa Kontemporer.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.
Karim,
A. Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonimi Islam (Ed.ke-3). Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Madjid,
Nurcholis. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1983.
P3EI
(Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam), Ekonomi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Komentar
Posting Komentar