MAX WEBER; TEORI TINDAKAN SOSIAL, TIPE-TIPE TINDAKAN DANTIPE-TIPE KEKUASAAN
Oleh : Khilmi Zuhroni
Dalam
kajian sosialogi klasik, nama Max Weber menempati sosok dapat dibilang paling
dominan dalam kajian teori-teori sosial. Karya-karya pemikiran Weber telah
banyak melahirkan teori-teori yang hingga kini terus dipakai oleh para
analisis, pengamat, sosiolog-sosiolog dalam melihat fenomena perkembangan
masyarakat. Namun demikian memahami pemikiran yang raksasa sosiolog ini bukan
merupakan hal yang mudah, sebab Weber dalam beberapa pemikirannya kadang tidak
konsisten dalam melihat realitas yang ada di masyarakat.
Bahkan
menurut Alfred Schutz gagasan-gagasan pemikiran
Weber yang selama
ini telah dipakai sebagai acuan pemikiran sosial banyak tidak
jelasnya, kabur, dan inkonsisten. Namun
demikian, dengan hujatan dan
kritik yang dilontarkan
Schutz atas pemikiran Weber pada akhirnya tokoh ini berhasil
merumuskan perspektif fenomenologi dalam sosiologi sebagaimana gagasan tersebut
dituangkan dalam salah satu karya pentingnya:“The Phenomenology of the Social
World”.
Max
Weber adalah salah satu ahli sosiologi dan sejarah bangsa Jerman, lahir di
Erfurt, 21 April 1864 dan meninggal dunia di Munchen, 14 Juni 1920. Weber adalah
guru besar di Freiburg (1894-1897), Heidelberg (sejak 1897), dan Munchen
(1919-1920). Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar
hubungan sosial dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi
sosial dan itulah yang di maksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau
ilmu sosial itu. Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial
manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain.
Pokok
persoalan Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan
sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Dua hal
itulah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Inti tesis adalah
“tindakan yang penuh arti” dari individu. Yang dimaksdudnya dengan tindakan
sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna
atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepadan tindakan orang lain.
Sebaliknya tindakan invidu yang diarahkan
kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa di hubungkannya dengan tindakan
orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Max Weber mengatakan, individu
manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan
merupakan alat yang statis dari pada paksaan fakta sosial. Artinya tindakan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nila, dan sebagainya
yang tercakup di dalam konsep fakta sosial. Walaupun pada akhirnya Weber
mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan pranata sosial.
Dikatakan bahwa struktur sosial dan pranata sosial merupakan dua konsep yang
saling berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.
Untuk
lebih memahami tentang teori-teori Weber khususnya yang berkaitan dengan teori
tindakan sosial, tipe-tipe tindakan, tipe-tipe kekuasaan, (agama, kapitalisme, dan
rasionalisasi), kajian
makalah berikut akan mencoba mengupasnya disertai dengan studi kasus terkait
teori-teori tersebut.
Biografi
Singkat Max Weber
Max
Weber lahir di Erfurt Jerman, pada tanggal 21 April 1864. Pemikiran dan
psikologis seorang Max Weber banyak dipengaruhi oleh perbedaan antara orang
tuanya, yang mempunyai latar belakang berbeda. Ayahnya adalah seorang birokrat
yang menduduki posisi yang relatif penting dan ibunya adalah seorang wanita
yang sangat religius. Sehingga pemikiran antara ayah dan ibu Max Weber ini
tidak bisa bertemu yang mana ayahnya adalah sorang birokrat yang mapan dalam
segala hal termasuk politik sedangkan ibunya adalah orang yang asketis yang
tidak mau terlibat banyak dengan kenikmatan duniawi yang malah dalam hal inilah
yang didambakan oleh suaminya. Melihat latar belakang yang bertolak belakang
antara kedua orang tuanya tersebut Max Weber dihadapkan dengan pilihan yang
sulit yakni lebih cenderung kepada ayahnya ataukah ibunya. Pada awalnya Max
Weber lebih cenderung kepada ayahnya namun kemudian lebih deekat dengan ibunya.
Pada
umur 18 tahun Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di
Universitas Heidelberg, disana Max Weber berkembang mengikuti jejak ayahnya
yakni mengarah kearah hukum. Setelah tiga tahun kemudian Max weber meninggalkan
Heidelberg untuk menjalani wajib militer dan pada tahun 1884 kembali ke berlin
dan rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di Unversitas Berlin, yang
kemudian mendapatkan gelar doktor dan menjadi pengacara. Pada tahun 1896, Max
Weber mendapatkan gelar profesor ekonomi di Heidelberg, namun pada tahun 1897
ketika karirnya sedang berkembang ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar
hebat denganya. Sehingga seorang Max Weber mengalami keruntuhan mental,
sehingga ia sering kali tidak mau tidur dan bekerja. Namun pada tahun 1904 ia
kembali bangkit dan kembali dalam kehidupan akademis. Pada tahun 1905 ia
menerbitkan salah satu karyanya yang terkenal yakni The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism. Dalam karyanya ini ia banyak menyatakan kesalehan
ibunya yang diwarisinya pada level akademik, Weber banyak mempelajari agama
meskipun secara pribadi ia tidak religius.
C.
Teori
Tindakan Sosial
Rasionalitas bagi Weber adalah titik tolak yang paling utama
untuk melihat fenonema perkembangan
masyarakat. Konsep rasionalitas ini ini sama pentingnya dengan konsep
solidaritas Emile Durkheim, konflik
kelas Karl Marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan
mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat barat
yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam
bentuk rasionalitas. Rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah
keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat
diatasi.
Menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu
dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai
tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan
hubungannya dengan arti subyektif.
Max Weber memperkenalkan konsep pendekatan verstehen untuk memahami
makna tindakan seseorang. Weber berasumsi bahwa seseorang dalam bertindak tidak
haya sekedar melaksanakannya tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan
berfikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada
suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to
motive. Interaksi sosial merupakan perilaku yang bisa dikategorikan sebagai tindakan
sosial.
Tindakan sosial merupakan
proses aktor terlibat dalam pengambilan pengambilan keputusan subjektif tentang
sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, tindakan
tersebut mengenai semua jenis perilaku manusia, yang di tujukan kepada perilaku
orang lain, yang telah lewat, yang sekarang dan yang diharapkan diwaktu yang
akan datang. Tindakan sosial (social
action)adalah tindakan yang memiliki makna subjektif (a subjective
meaning)bagi dan dari aktor pelakunya.Tindakan sosial seluruh perilaku
manusia yang memiliki arti subjektif dari yang melakukannya. Baik yang terbuka
maupun yang tertutup, yang diutarakan secara lahir maupun diam-diam, yang oleh
pelakunya diarahkan pada tujuannya. Sehingga tindakan sosial itu bukanlah
perilaku yang kebetulan tetapi yang memiliki pola dan struktur tertentudan
makna tertentu.
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu
sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan
diarahkan kepada tindakan orang lain. Suatu tindakan individu yang diarahkan
kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial, suatu tindakan
akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-benar
diarahkan kepada orang lain (individu liannya).
D.
Tipe-tipe
Tindakan
Weber
secara khusus mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki arti subjektif
tersebut kedalam empat tipe. Atas dasar rasionalitas tindakan,Weber membedakan
tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe, semakin rasionaltindakan sosial
itu semakin mudah dipahami:
1.
Tindakan
Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan
ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas
pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan
ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Misalnya, Seorang pedagang
yang tidak memiliki mobil sebagai alat trasnportasi untuk mengantar dagangannya, akhirnya
mengangkut dagangan tersebut dengan gerobak sambil berjalan kaki agar
dagangannya tetap laku dan sampai kepada konsumen.
Tindakan
pedagang tersebut telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan
tertentu. Dengan demikian menilai dan
menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk
mencapai tujuan yang lain.
2.
Tindakan
Rasional Nilai (Werk Rational)
Tindakan
rasional nilai memiliki sifat bahwa
alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar,
sementara tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu
yang bersifat absolut. Misalnya, perilaku beribadah yang dilakukan oleh
seseorang dilakukan atas dasar nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Contoh
lain misalnya adalah dalam sebuah antrian yang panjang seseorang memberikan
kesempatan kepada orang yang lebih tua untuk melakukan antrian terlebih dahulu.
Tindakan-tindakan
sosial tersebut tentu telah
dipertimbangkan sebelumnya berdasarkan pertimbangan nlai-nilai sosial, etika
dan agama yang ada. Sehingga tindakan
orang yang beribadah atau mendahulukan antrian pada yang lebih tua
didasari oleh nilai-nilai yang dia pahami.
3.
Tindakan
Afektif (Affectual Action)
Tipe
tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak
rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Misalnya, hubungan
kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk
asmara. Mereka dapat saja melakukan tindakan yang melanggar norma yang berlaku,
namun adanya dominasi emosi (afektif) yang lebih kuat sehingga tanpa
perencanaan sadar mereka melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut.
4.
Tindakan
Tradisional (Traditional Action)
Dalam
tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan
yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
Misalnya, kebiasaan minum kopi pagi hari yang
ada disuatu daerah akan membentuk kebiasaan menjadi tradisi yang
mendorong masyarakat daerah tersebut
minum kopi setiap pagi. Sekalipun tidak ada pertimbangan atas dasar manfaat dan tidaknya minum kopi
pada pagi hari. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan menjadi aneh kalao tidak
dilakukan.
Kedua
tipe tindakan yang terakhir sering hanya menggunakan tanggapan secara otomatis
terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk kedalam jenis tindakan
yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Namun demikian pada
waktu tertentu kedua tipe tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan yang
penuh arti sehingga dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami.
Meski
tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau
bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi
tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja
sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara
pasif dalam situasi tertentu. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan
sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang
menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu:
1)
Jika tindakan
manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa
meliputi berbagai tindakan nyata.
2)
Tindakan nyata
itu bisa bersifat membatin sepenuhnya.
3)
Tindakan itu
bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang
sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari
pihak mana pun.
4)
Tindakan itu
diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
Tindakan itu
memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
E.
Tipe-tipe
Kekuasaan
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak
meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max
Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang
dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan.[10]
Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu
yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai
suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya
dengan penerimaan sosialnya yang formal.
Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si
pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1)
Ratonal-legal
authorit
Jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak
yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi,
terutama yang bersifat politis.
2)
Traditional authority,
Jenis wewenang
yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya
berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam
dua tipe, yakni patriarkhalisme dan
patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan
didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara
tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme,
patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin
bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang
mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
3)
Charismatic
authority,
Wewenang yang
dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal
ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa
memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan
dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan
atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara
predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh
karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.
Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,
pemimpin partai, dan sebagainya.
F.
Relasi
Agama dan Kapitalisme
Dalam bukunya Etika Protestan dan Kapitalis, Weber menyebutkan
agama adalah salah satu actor utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia
mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya
barat. Tujuannya untuk menemukan aktor mengapa budaya barat dan timur berkembang
dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak
pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan
sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang
dengan actor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah,
menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan
yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha
ekonomi.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan
Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis).
Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis.
Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan
semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara
doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama
dalam perkembangan actori modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana
nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism
menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme.
Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama
Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah
ditakdirkan untuk masuk acto atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk acto
atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang
berhasil dalam kerjanya (sukses) maka actor dapat dipastikan bahwa ia
ditakdirkan menjadi penghuni acto, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini
selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan
untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut
telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas
Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna
merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan
ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja
yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi
individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial
ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman
bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa
depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk acto, sebaliknya kegagalan
yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi
“jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan
“mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya
menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi
kecemasan.
Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes,
bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam
perkembangannya etika Protestan menjadi actor utama bagi munculnya kapitalisme
di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh
sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan
yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.
Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya
pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan
kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik
memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya
merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi actori, ketika
Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata
dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari
individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi
keseluruhan kelompok manusia.[13]
G.
Kesimpulan
Rasionalitas bagi Weber adalah titik tolak yang paling utama untuk melihat fenonema perkembangan masyarakat.
Konsep rasionalitas ini ini sama pentingnya dengan konsep solidaritas Emile Durkheim, konflik kelas Karl Marx,
tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk
Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu
hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas.
Rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi
subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi.
Menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu
dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai
tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan
hubungannya dengan arti subyektif.
Max Weber memperkenalkan konsep pendekatan verstehen untuk
memahami makna tindakan seseorang. Weber berasumsi bahwa seseorang dalam
bertindak tidak haya sekedar melaksanakannya tetapi juga menempatkan diri dalam
lingkungan berfikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih
mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in
order to motive. Interaksi sosial merupakan perilaku yang bisa
dikategorikan sebagai tindakan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Supraja, Alfred Schutz: Rekonstruksi Teori Tindakan Max
Weber https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23447/15447, online 20
November 2017.
Hotman M. Siahan, Sejarah dan Teori Sosiologi, Jakarta: Erlangga,1989.
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi,
Bantul: Kreasi Wacana, 2011.
I.B Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma,
Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2007.
Mianto Nugroho Agung, Weber:
‘Nabi’ Etika Protestan, Bapak Verstehen,
jurnal Bina Humaniora Yayasan Bina Darma Volume III, No. 1, 2016
Halaman: 057-066
Komentar
Posting Komentar