PRINSIP ISLAM TENTANG BISNIS

Oleh : Khilmi Zuhroni
Urat nadi perekonomian suatu negara atau masyarakat sangat tergantung dengan perkembangan bisnis yang ada di negara/masyarakat tersebut. Perkembangan bisnis yang baik akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat yang ditandai dengan naiknya daya beli masyarakat. Kenaikan daya beli masyarakat dalam suatu negara memiliki dampak yang signifikan terhadap pendapatan negara. Sementara itu, pendapatan negara dapat menjadi indikator apakah perekonomian di suatu negara mengalami pertumbuhan atau tidak.
Dalam kajian ekonomi negara dan perkembangan bisnis tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait dan mandukung. Adakalanya negara harus terlibat sepenuhnya dalam urusan bisnis, semantara pada kasus dan situasi tertentu intervensi negara yang terlalu dalam terhadap aktivitas bisnis dapat menimbulkan dampak yang kurang baik. Seberapa besar porsi negara dapat memberi peranan dan harus terlibat dalam bisnis, tentu membutuhkan pembahasan dan analisis tersendiri.
Kondisi  makin kompleknya petumbuhan bisnis yang berkembang dewasa ini, melahirkan  beragam diskursus yang terus berlangsung terkait posisi negara terhadap bisnis. Diskursus hubungan pasar dan bisnis dalam ekonomi tidak dapat dilepaskan dari paradigma ”ekonomi pasar” seiring dengan perkembangan ekonomi sosialis dan kapitalis. Beberapa negara  mempercayai bahwa perencanaan yang terpusat oleh pemerintah dalam perekonomian adalah yang terbaik, sehingga pemerintah yang dipercaya untuk memutuskan barang dan jasa dari aspek produksi, konsumsi, dan distribusinya. Hal tersebut berdasarkan teori yang menyebutkan bahwa pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]
Kajian para ekonom Islam juga tidak lepas dari perhatian posisi negara dalam perkebmangan bisnis. Mereka berusaha mendefinisikan intervensi negara dengan kumpulan pertanyaan: mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana intervensi itu dapat dilakukan. Upaya yang dilakukan para pengkaji ekonomi itu memperoleh kesimpulan berbeda tentang masalah tersebut seperti yang terjadi dengan para ahli hukum Islam (fuqaha’) awal antara abad kesebelas dan keenam belas. Berbeda dengan para ahli hukum Islam yang secara eksplisit menganalisis legalitas atau tidaknya terkait tindakan negara dari sudut pandang yurisprudensi, para ekonom Islam terkonsentrasi dengan melakukan upaya analisis pada relevan dan tidak relevannya mekanisme pasar dalam sinkronisasi kepentingan individu dan masyarakat untuk membangun kewenangan regulasi harga yang ada. Satu kelompok ekonom ini seperti Siddiqi (1972), Kahf (1981), Mannan (1982), dan Naqvi (1983) berpendapat bahwa pencapaian sinkronisasi seperti kepentingan di bawah operasi pasar bebas tidak mungkin. Kelompok lain seperti Haikal (1983), Ghanim (1984), dan Mahboob (1992) berpendapat bahwa mekanisme pasar menjamin harmoni dan sinkronisasi kepentingan dan menghasilkan harga yang sesuai dengan tujuan dari hukum Islam itu sendiri.[2]
Terkait peran negara dalam pertumbuhan ekonomi, pemikir dan sekaligus filosof muslim Imam al-Ghazali (w.1111 M) menyebutkan bahwa negara memiliki peran yang sangat penting tidak saja dalam menjaga keharmonisan ekonomi masyarakat, tetapi juga pemenuhan syariah. Bagi al-Ghazali negara dan agama merupakan pilar yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang tertib. Agama adalah fondasi dan kepala negara adalah pengatur dan pelindungnya. Kecenderungan adanya konflik kebutuhan antara masyarakat hanya bisa dikendalikan jika terdapat peraturan-peraturan yang disepakati secara kolektif dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang memadai. Oleh karenanya peran negara sebagai pengontrol dan pengawas peraturan-peraturan itu menjadi sangat penting.[3]
Untuk  meningkatkat kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan, serta stabilitas. Negara harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk menegakkan kondisi keamanan internal dan eksternal. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi.[4]
Makalah ini menyajikan materi perihal mekanisme bisnis yang berlangsung di pasar terkait posisi negara dalam perkembangannya, serta sejauh mana sebuah negara dimungkinkan terlibat dalam perkembangan bisnis/perekonomian, intervensi, peran, tanggung jawab dan batas-batasnya.

1.      Intervensi Negara dalam Bisnis
Dalam kajian sejarah perkembangan dan pemikiran ekonomi Islam, hubungan antara negara dan bisnis memiliki posisi yang sangat erat. Hal tersebut dapat terlihat misalnya pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah SAW senantiasa melakukan inspeksi ke pasar untuk melihat dan mengecek timbangan yang dipakai oleh para pedagang di pasar. Beliau juga biasa memasukkan tanggannya ke keranjang buah, untuk memastikan apakah buah yang dijual sesuai dengan yang ditawarkan, tidak busuk, tidak basah dan sesuai ukuran timbangan.
Sekalipun demikian, Rasulullah tidak serta merta melakukan intervensi terhadap bisnis yang berlangsung di pasar. Mekanisme pasar yang dihargai oleh Rasulullah. Beliau bahkan menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat harga di Madinah mengalami kenaikan, sepanjang kenaikan yang terjadi disebabkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang murni tidak disebabkan oleh adanya praktik monopolistik dan monopsonistik. [5]
Sikap Rasulullah yang demikian terhadap mekanisme bisnis yang berkembang di pasar, mengindikasikan adanya ruang yang luas terhadap perkembangan pasar sehingga pasar dapat berkembang menentukan harga dan mekanismenya sendiri, serta di satu sisi intervensi negara juga diperlukan jika terdapat praktik-praktik bisnis di pasar yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Hal ini berbeda dengan ekonomi kapitalis yang meniadakan sepenuhnya intervensi negara terhadap pasar. Peran negara dalam sistem ekonomi kapitalis hanya sebatas pada pada penyediaan dan pengembangan sarana prasarana yang mendukung perekonomian berlangsung. Selebihnya negara harus memberikan kebebasan penuh pada masyarakat untuk menentukan kegiatan perekonomian mereka, termasuk dalam soal harga dan mekanisme pasar. Negara sama sekali tidak ikut campur tangan atau berusaha untuk mempengaruhi kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat. Kebebasan individu dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, akan menggalakkan mereka untuk bekerja lebih efisien dan lebih gigih sehingga produktivitas mereka meningkat dan akan berdampak secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sementara itu sistem ekonomi sosialis, justeru sebaliknya. Bahwa, mekanisme pasar yang dilepaskan sepenuhnya dari intervensi negara akan melahirkan ketidakadilan sosial. Sehingga ada masyarakat yang tidak mendapatkan akses ekonomi sebagai akibat dari penuasaan ekonomi oleh kelompok yang memiliki modal besar dan akses bisnis yang besar. Dengan mekanisme pasar bebas, negera akan terbebani oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar masyarakat yang tersisih dari dominasi pemilik modal besar. Kebutuhan dasar mereka tidak dapat terpenuhi lantaran tidakadanya akses mereka terhadap mekanisme pasar yang berjalan. Maka dengan sistem ekonomi sosialis, negara dapat menjamin terpenuhinya semua hak masyarakat dalam kegiatan bisnis dan ekonomi.
Dalam sistem ekonomi sosialis, negara harus mengintervensi semua mekanisme ekonomi yang ada di masyarakat. Negara juga menjadi pemilik dari sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi termasuk tanah, industri-industri besar, dan semua produksi-produksi yang memiliki nilai penting bagi keberlangsungan perekonomian masyarakat.[6]
Menurut Islam negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung perintah-perintah syariat dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi.
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan komleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka melindungi  hak-hka rakyat/masyarakat luas dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingn manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan: Menghilangkan kemiskinan.
Menurut Ibnu Taimiyah, menghapuskan kemiskinan merupakan kewajiban negara. Beliau tidak memuji adanya kemiskinan. Dalam pandangannnya, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk agar mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. [7]

2.      Peran Negara dalam Bisnis
Subjek ekonomi yang berperan dalam ekonomi, yaitu 1) Rumah tangga, 2) perusahaan, 3) negara (pemerintah), dan 4) masyarakat luar negeri. Negara memiliki peran penting dalam mewujudkan keinginan masyarakat yaitu peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup. Dalam persoalan ekonomi, negara harus menjamin dan memastikan bahwa seluruh warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi. Dengan demikian negara sepatutnya mengatur dan mendistribusikan pemanfaatan sumber daya ekonomi secara adil dan merata.
Dalam perekonomian yang menekankan konsep liberal, menekankan keharusan adanya kebebasan mutlak bagi masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi tanpa ikut campur tangan pemerintah, kecuali untuk hal yang tidak dapat dikur sendiri oleh para individu.[8] Dalam penerapannya, hal-hal tertentu yang berkaitan dengan bidang keadilan sosial, pekerjaan umum, serta pertahanan dan keamanan tetap diatur dan dijalankan oleh negara.
Aliran sosialis berpendapat bahwa kebebasan mutlak yang diberikan kepada individu dapat menimbulkan pertentangan dan akan ada pihak yang akan dirugikan. Oleh karena itu, sosialis menanggap bahwa konsep pengaturan dan pengendalian kehidupan ekonomi sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Pemerintah berperan sangat dominan dalam perencanaan dan penggunaan faktor-faktor produksi, pelaksanaan, dan pengaturan distribusi barang-barang ekonomi.
Dalam perekonomian campuran, kegiatan ekonomi diatur secara seimbang, individu mendapat kebebasan akan tetapi dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dan pemerintah menetapkan regulasi sesuai dengan kehendak masyakat. Kehadiran regulasi pemerintah mendorong keharmonisan kegiatan ekonomi. Sebahagian besar negara-negara di dunia telah menerapkan perekonomian campuran, dimana masyarakat dan pemerintah bersama-sama membangun perekonomian demi mewujudkan kesejahteraan.
Setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk diperlakukan secara adil oleh negara dan sesama masyarakat. Prinsip keadilan harus diperankan oleh negara terhadap masyarakat meliputi seluruh sektor kehidupan, mulai dari agama, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, hingga ekonomi. Dalam pondasi ekonomi Islam, keadilan merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian. Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan meniadakan kesenjangan antar pemilik modal dan orang yang membutuhkan modal.
Kegagalan pasar merupakan latar belakang perlunya peran pemerintah dalam perekonomian. Pasar gagal dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi karena ketidakmampuan mekanisme pasar dan tidak bekerjanya mekanisme pasar berjalan dengan efisien. Dalam kenyataannya, banyak kebutuhan masyarakat yang tidak bisa diukur. Selama ini, kepuasan masyarakat senantiasa diukur melalui angka-angka yang bersifat kuantitatif dan mengenalisir seluruh masyarakat. Padahal dalam realitas terjadi di masyarakat hal ini tidak dapat mewakili keadaan masyarakat yang sebenarnya. Sebagai bentuk peran pemerintah dalam perekonomian adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat memberikan arti pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan bunga yang diberlakukan telah mengakibatkan sistem ekonomi Islam bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negara Islam yang dibangun oleh nabi tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirian suatu negara. Oleh karena itu, kita akan mampu melihat bagaimana kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara Islam tersebut.
Negara merupakan bagian sangat penting dalam mewujudkan hukum Islam, karena Islam secara sistem tidak dapat berjalan secara utuh tanpa adanya negara. Tujuan hakiki dari negara dalam Islam adalah memberikan maslahah kepada masyarakatnya yang mengantarkan manusia kepada kemakmuran. Ketika negara secara sistem telah dijalankan dengan landasan nilai-nilai Islam, mata tujuan yang ingin dicapai harus sesuai dengan kehendak Islam. Dalam pondasi ekonomi Islam, pemerintah memiliki peranan penting dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Prinsip khalifah menjelaskan peran manusia sebagai wakil Allah. Oleh karenanya, setiap perbuatan yang dilaksanakan manusia memiliki konsekuensi yang akan diperoleh. Dasar pemikiran ini memberikan ketegasan kepada segenap manusia tentang fungsi dan eksistensinya di muka bumi sebagai agen pembangunanSecara ruang lingkup peranan pemerintah ini mencakup aspek yang luas yaitu upaya mewujudkan tujuan ekonomi Islam secara keseluruhan dan upaya mewujudkan konsep pasar yang Islami.[9]
 Tujuan ekonomi Islam adalah mencapai falah yang direalisasikan melalui optimalisasi maslahah. Oleh karenya tujuan peran pemerintah adalah menciptakan ke-maslahah-an bagi seluruh masyarakat. Agar dapat menjalankan fungsinya, maka manusia membutuhkan media yang berupa pemerintahan. Media pemerintahan sangat penting bagi manusia agar hubungan sesama manusia dapat terjaga dengan baik. Manusia wajib menjaga keharmonisan dalam segala interaksi dan pemerintah memiliki peranan penting untuk menjaga keharmonisan tersebut. Pemerintah memiliki hak ikut campur dalam bidang ekonomi yang dilakukan individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi maupun mengatur hal-hal yang berhubungan ekonomi tetapi tidak mampu dilakukan oleh para individu.[10]
Pemerintah adalah pemegang amanah untuk menjalankan tugas-tugas kolektif dalam mewujudlkan keadilan dan kesejahteraan dan tata kehidupan yang baik bagi seluruh masyarakat. Sebagai pemegang amanah, eksistensi dan peran pemerintah ini memiliki landasan kokoh dalam al-Qur’an dan Sunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Peran negara diperlakukan dalam instrumen dan fungsionalisasi nilai-nilai ekonomi islam dalam aspek legal, perencanaan, perencanaan, pengelolaan, dan pengawasannya.[11]
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemilik manfaat sumber-sumber ekonomi bersifat publik, termasuk produksi dan distribusi serta sebagai lembaga pengawas kehidupan ekonomi. Ikut campur tangan pemerintah ini bukan berarti pemerintah berhak memonopoli segala sumber daya ekonomi negara. Seluruh hasil campur tangan pemerintah bertujuan untuk menghasilkan individu dan masyarakat yang saleh. Peran pemerintah tercermin jelas dalam menciptakan pasar yang efisien yang mampu menghasilkan maslahah yang maksimum. Pasar ini terjadi manakala harga yang tercipta sama dengan biaya minimum untuk menghasilkan satu unit barang tersebut. Secara teknis, kondisi seperti ini dapat tercipta apabila pasar dapat bersaing dengan sempurna dmana tidak satupun individu yang dapat mengatur harga pasar. Dengan demikian, pasar efisien adalah pasar yang setiap produsen dapat menetapkan harya yang konstan dan besarnya harga adalah sama dengan tingkat minimum. Namun, realisasi pasar yang efisien tidak dapat terwujud bila diserahkan sepenuhnya kepada pelaku pasar, maka intervensi pemerintah sangat diperlukan.
3.      Tanggung Jawab Negara dalam Bisnis
Negara memiliki perang yang sangat penting tidak saja dalam menjaga keharmonisan ekonomi masyarakat, tetapi juga pemenuhan syariah. Bagi al-Ghazali negara dan agama merupakan pilar yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang tertib. Agama adalah fondasi dan kepala negara adalah pengatur dan pelindungnya. Kecenderungan adanya konflik kebutuhan antara masyarakat hanya bisa dikendalikan jika terdapat peraturan-peraturan yang disepakati secara kolektif dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang memadai. Oleh karenanya peran negara sebagai pengontrol dan pengawas peraturan-peraturan itu menjadi sangat penting.[12]
Menurut al-Ghazali, untuk meningkatkat kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan, serta stabilitas. Negara harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk menegakkan kondisi keamanan internal dan eksternal. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Gabaran mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh negara dan penguasa dituliskan oleh al-Ghazali dalam sebuah buku tersendiri, yakni Kitab Nasihah al-Muluk.[13]
Pokok pemikiran al-Ghazali dalam buku tersebut termuat dengan adanya prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh kepala negara/penguasa. Diantara prinsip tersebut adalah bahwa penguasa tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan, tidak boleh bersikap sombong, tidak terbuai oleh sanjungan, serta penguasa harus senantiasa bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu yang bisa jadi memberikan fatwa-fatwa yang tidak benar sesuai ajaran agama. Selain mengutarakan prinsip-prinsip dalam pemerintahan, al-Ghazali juga memberikan kritik terhadap penyelenggara negara. Ia mengutuk penyuapan dan korupsi yang terjadi di sektor publik, khususnya dalam lembaga penegak keadilan.[14]

4.      Batas-batas Negara terhadap Bisnis
Tas’ir (penetapan harga) merupakan salah satu praktek yang tidak dibolehkan oleh syariat Islam. Pemerintah ataupun yang memiliki otoritas ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk menentukan harga tetap sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para pedagang jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang ditentukan, atau melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman di dalam sebuah pasar yang mengakibatkan rusaknya mekanisme pasar yang sehat. Tabi’at (tetap) ini dapat kita lihat dari bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap masalah ini. Tatkala rasulullah SAW didatangi oleh seorang sahabatnya untuk meminta penetapan harga yang tetap. Rasulullah SAW menyatakan penolakannya.[15] Beliau bersabda:
 “Fluktuasi harga (turun-naik) itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kezaliman pada seorang yang bisa dituntut dari saya” (HR. Abu Dawud)
Dari sini jelas bahwasanya tidak dibenarkan adanya intervensi atau kontrol manusia dalam penentuan harga itu, sehingga akan menghambat hukum alami yang dikenal dengan istilah supply and demand.
Yang serupa dengan tas’ir (penetapan harga) dan sama terkutuknya adalah praktek bisnis yang disebut dengan proteksionisme. Ini adalah bentuk perdagangan dimana negara melakukan pengambilan tax (pajak) baik langsung maupun tidak langsung kepada para konsumen secara umum. Dengan kata lain, ini adalah sebuah proses dimana negara memaksa rakyat untuk membayar harga yang sangat tinggi pada produksi lokal dengan melakukan proteksi pada para pelaku bisnis agar terhindar dari kompetisis internasional.
Proteksionisme tidak dihalalkan karena akan memberikan keuntungan untuk satu pihak dan akan merugikan dan menghisap pihak lain, yang dalam ini adalah masyarakat umum. Lebih dari itu, proteksi juga merupakan sebab utama terjadinya inflasi dan akan mengarah pada munculnya kejahatan bisnis yang berbentuk penyeludupan pasar gelap (black market), pemalsuan dan pengambilan untung yang berlebihan. Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa proteksi merupakan bentuk tindakan  ketidakadilan, yang terjelek/terburuk. Dia menyatakan bahwa proteksi sangat berbahaya bagi kedua belah pihak baik protektor maupun orang yang diproteksi, dengan alasan bahwa ini adalah tindakan peningkatan hak kemerdekaan berdagang yang Allah SWT berikan.
Negara memiliki peran yang sangat penting tidak saja dalam menjaga keharmonisan ekonomi masyarakat, tetapi juga pemenuhan syariah. Negara dan agama merupakan pilar yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang tertib. Agama adalah fondasi dan kepala negara adalah pengatur dan pelindungnya. Kecenderungan adanya konflik kebutuhan antara masyarakat hanya bisa dikendalikan jika terdapat peraturan-peraturan yang disepakati secara kolektif dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang memadai. Oleh karenanya peran negara sebagai pengontrol dan pengawas peraturan-peraturan itu menjadi sangat penting.
Untuk  meningkatkat kemakmuran ekonomi dan stabilitas dalam bisnis, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan, serta stabilitas. Negara harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk menegakkan kondisi keamanan internal dan eksternal. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan perkembangan bisnis yang baik.
 



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Ahmad Dakhoir dan Itsla Yunisve Aviva, Ekonomi Islam dan Mekanisme Pasar, Surabaya: LaksBang, 2017.
Ash Shadar, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam, Iqtishaduna, Jakarta: Zahra, 2008.
Furqani, Hafas, Hisbah: Institusi Pengawas Pasar Dalam Sistem Ekonomi Islam (Kajian Sejarah dan Konteks Kekinian), Proseding Simposium Nasional Ekonomi Islam II, Malang 28-29 2004.
Jaelani, Aan, Institusi Pasar dan Hisbah; Teori Pasar dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cirebon: Syariah Nurjati Pres, 2013.
Janwari, Yadi, Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Rasulullah hingga Masa Kontemporer, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Edisi Ke-3), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Mankiw, N. Gregory, Pengantar Ekonomi Makro, Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Rozalinda, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.
Rahayu, Ani Sri, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010




  




[1] N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Makro, Jakarta: Salemba Empat, 2006, h. 11.
[2] Aan Jaelani, Institusi Pasar dan Hisbah; Teori Pasar dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cirebon: Syariah Nurjati Pres, 2013, h. 2
[3] Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Rasulullah hingga Masa Kontemporer, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016, h. 202
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, edisi ke-3, h.314
[5] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h.71
[6] Ahmad Dakhoir dan Itsla Yunisve Aviva, Ekonomi Islam dan Mekanisme Pasar, Surabaya: LaksBang, 2017, h. 112-113
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam… h.371
[8] Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 14
[9] Muhammad Baqir Ash Shadar, Buku Induk Ekonomi Islam, Iqtishaduna, Jakarta: Zahra, 2008, h. 485
[10] Ahmad Dakhoir… h. 87
[11] Ibid, h. 286
[12] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran …h. 314
[13] Ibid, h. 314
[14] Ibid, h. 342 – 343
[15] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam… h.71

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI