MEWUJUDKAN SPIRIT TAKBIR DALAM KEHIDUPAN


Refleksi Idul Adha 1440 H
Oleh : Khilmi Zuhroni

Bertakbir pada hekekatnya merupakan tekad bagi pengucapnya untuk selalu memprioritaskan yang dimaui oleh Allah SWT sebagai satu-satunya yang harus dijujnjung tinggi, mengalahkan kepentingan pribadi dan kepentingan yang lain. Apa yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Siti hajar alaihim al-salâm, adalah sebuah contoh nyata praktek bertakbir dalam kehidupan. Mereka mengedepankan maunya Allah di atas segalanya. Peristiwa ini diabadikan Allah dalam surat al-Shâffât ayat : 100-107.
Syariat qurban dilakukan pada setiap hari raya haji dan tiga hari berikutnya. Semangat lebih mengedepankan Allah di atas kepentingan manapun, menjadi inti dari ibdah qurban, sekaligus menjadi indikator ketaqwaan seseorang. Allah menegaskan hal ini dalam surat  al-Hajj ayat 37:
Artinya, ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Manusia bertaqwa adalah manusia yang tunduk kepada semua aturan-aturan Allah, melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya, serta mempersiapkan diri menyongsong tibanya hari kematian. Ketundukan itu merupakan implementasi dari rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan segala yang Ia miliki, termasuk memberikan Al Quran sebagai petunjuk, penjelas, dan pembeda antara yang baik dengan yang buruk, antara yang haq dengan batil, antara yang terpuji dengan yang tercela, antara jalan bahagia dan jalan celaka. Ketundukan itu juga merupakan implementasi dari bertakbir; untuk hanya memprioritaskan Allah semata.
Manusia bertaqwa adalah manusia yang selalu mengedepankan maunya Allah di atas segala-gelanya. Itulah makna bertakbir pada Allah. Untuk menjadi orang yang bertakbir dalam kehidupan keseharian, Allah telah memberikan latihan yang relatif memadai, dan hal itu selalu menjadi bagian tak terpisahkan dengan peribadatan. Seluruh ibadah kita sesungguhnya adalah takbir, karena yang kita lakukan sesunguhnya adalah mengecilkan apapun selain Allah Yang Maha Besar. Dalam ibadah shaum umpamanya, takbir kita cerminkan dengan mengecilkan dan mengabaikan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati. Kita rela menahan lapar dan dahaga serta pantangan-pantangan lain baik yang bersifat indra lahiriah maupun indra batiniah. Kita kecilkan dan abaikan kemauan-kemauan hawa nafsu untuk hanya mengakomodir kemauan Allah demi mendapatkan ridha-Nya. Ketika membaca Al Quran dan mengesampingkan omongan yang tidak bermanfaat, dan ketika berdiri shalat malam di bulan Ramadhan, sesungguhnya kita tengah lebih memusatkan diri pada kalamullah dan mengecilkan seluruh urusan duniawi untuk hanya membesarkan, mengagungkan dan menomorsatukan  perintah Allah.
 Allah tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah-ibadah kita, tapi melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di masjid, tapi di luar masjid kita besarkan yang lain. Kita agungkan kekayaan, kekuasaan, kedudukan; kita besarkan hawa nafsu, kepentingan dan pikiran kita. Di atas sajadah panjang, di masjid, di mushalla, di tempat-tempat ibadah, kita gemakan takbir. Sementara di kantor, di pasar, di ladang, di tengah-tengah masyarakat, kita lupa bertakbir - kita gantikan takbir dengan takabur. Ketika duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya dipergunakan untuk memakmurkan negara, melayani dan mensejahterakan rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri. Kita bangga melihat rakyat yang seharusnya kita layani, merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita. Kita bangga dengan sedikit kecerdikan dan kelicikan  menumpuk keuntungan, kekayaan dan kekuasaan, walaupun kita lakukan dengan mengorbankan rakyat. Di kantor, di jalanan, di tengah masyarakat, kita singkirkan takbir, dan kita suburkan takabur. Takabbur, sebagai yang didefinisikan Nabi SAW, adalah bathar al-haq ghamtu al-nas;  menolak kebenaran Allah SWT dan meremehkan manusia. Ketika bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika menjalankan bisnis, kita tempuh cara apapun tanpa peduli halal dan haram, seakan Allah tidak pernah hadir di hati kita, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang demi memuluskan syahwat bisnis kita. Itu takabur namanya, karena yang kita takbirkan bukan Allah, melainkan syahwat bisnis dan ketama’an hati kita.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Hakim ibnu Hizam Nabi SAW bersabda; Wahai Hakim! Harta itu mempesona (dan semua orang akan selalu terpesona terhadapnya). Siapa yang mendapatkannya dengan cara dan hati yang baik, Allah akan berkahi kekayaannya. Sebaliknya, barang siapa yang mendapatkannya dengan penuh kerakusan, Allah SWT tidak akan memberkahinya dan akan menjadikannya selalu berburu kekayaan. Dalam hadis lain Nabi SAW juga mengingatkan bahwa, umat Islam akan mengalami kehancuran bila memperebutkan kekayaan dengan cara-cara negatif, tidak sehat dan bersifat mengahancurkan.
Kita lupakan firman Allah dan hadis-hadis itu. Labih dari itu, kita bahkan merasa hebat bila mampu mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun mencampakkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Kita sudah menggantikan takbir dengan takabur. Di masjid kita bertakbir, tapi di tengah-tengah masyarakat kita bertakabur. Kita sering melihat inkonsistensi (kesenjangan) dalam perbuatan kita; ucapan dikhianati oleh laku kita. Banyak orang yang khusyuk shalatnya, namun asyik dalam maksiyat. Banyak orang yang fasih dalam melafalkan al-Quran, tapi piawai dalam memperdayakan orang lain. Banyak orang yang tidak putus puasa dan melafalkan takbir dan tahlil,  namun tidak putus pula kedzalimannya.
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsîr ul-Qurân il-‘Azhîm, menyatakan bahwa siapa saja yang dibacakan kepadanya Al Qur’an, tapi tidak mau mendengarkan dan membenarkan apa yang dikandungnya berarti ia telah tidak mengacuhkan al-Quran. Termasuk tidak mengacuhkan al-Quran adalah orang yang tidak mau mengkaji dan memahami atau mentadabburi al-Quran. Ataupun seandainya mengkaji, itu dilakukan sekadar untuk mencari kepuasan intelektual (intellectual exercise) saja, atau bahkan untuk menyenangkan penyandang dana kegiatan, bukan untuk mengamalkan isinya. Begitu pula, orang yang tidak mau mengambil hukum dari apa yang tersebut dalam al-Quran, sebaliknya malah berhukum kepada hukum lain baik yang diambil dari paham sekuler maupun dari tradisi atau kebiasaan nenek moyang, juga disebut telah tidak mengacuhkan Al Quran. Sikap tidak takut atau abai terhadap ancaman Allah SWT dalam Al Quran bagi orang yang tidak mentaati-Nya, juga merupakan sikap tidak mengacuhkan Al Quran. Bila ini yang terjadi, maka berarti kita tengah mempersiapkan diri menerima kemalangan hidup di dunia dan akhirat. Secara i’tiqâdiy, siapapun yang berpaling dari peringatan Allah Dzat Maha Sempurna dalam Al Quran dan As Sunnah niscaya dia akan ditimpa kesengsaraan hidup: ”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (QS. 20: 124)  
Kesempitan hidup itu sesungguhnya telah dialami oleh bangsa ini. Krisis seakan tak pernah mau kunjung henti dan selalu mengalami jalan buntu dan mentok. Penyakit korupsi, tidak tegas dan tebang pilih dalam penegakan hukum dan penyakit kronis lain, seakan telah menyatu dalam kehidupan keseharian bangsa ini. Junjungan kita sesungguhnya telah mengingatkan umat Islam akibat yang akan diterima bila cara-cara busuk masih menjadi bagian dari kehidupan kita. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah SAW mengingatkan: tidak ada aktivitas korup yang dilakukan oleh suatu bangsa, melainkan Allah akan timpakan pada mereka krisis yang berkepanjangan dan hadirnya penguasa lalim terhadap mereka.
Kesengsaraan itu juga bisa berbentuk peran dan posisi umat Islam yang tidak pernah bisa menjadi penentu, tidak lebih dari sekedar jadi obyek rebutan belaka. Bila diperlukan, didatangi ramai-ramai, dimanjakan dengan berbagai janji dan kenikmatan sesaat. Sebaliknya, akan dicampakkan begitu saja bila tidak lagi diperlukan. Dalam hal ini Nabi SAW meramalkan;
Artinya, Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana   (mereka) memperebutkan makanan untuk meremukannya. Apakah ketika itu kami kecil ya Rasulallah? Tanya para sahabat. Kalian waktu itu justru besar, tapi kalian terkena penyakit “hub a-dunya wa karâhiyat al-maut” (lebih mencintai kenikmatan sesaat dan enggan menerima resiko. HR. Abu Daud dari Tsauban).
Tantangan kita ke depan bisa juga berasal dari dalam dan luar negeri. Tantangan itu bisa berbentuk fisik dan dan non fisik, baik politik, agama, cultur maupun lainnya. Tantangan dari luar negeri berbentuk imperialisme gaya baru yang dikomandani Amerika Serikat dan sekutunya dengan mengunakan topeng menegakkan demokratisasi, HAM, kesetaraan jender, pluralisme dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan asing neo-imperialis itu kini tampak jelas tengah mencengkeramkan kakinya di hampir seluruh negeri muslim yang sangat kaya  sumberdaya alam dan strategis dari sudut geopolitik, termasuk Indonesia. Peristiwa mutarakhir, atas nama HAM, demokratisasi dan menolong rakyat, mereka hancurkan Libya. Mereka membuat pemerintahan boneka yang bernama Nasional Transisi Libya (NTC), untuk lebih mengamankan kepentingan minyak yang melimpah ruah dari Libya. Begitu pula, perang melawan teroris hanyalah kedok yang digunakan AS dan sekutunya untuk memerangi (calon) musuh potensialnya pasca perang dingin, yakni umat Islam, sekaligus untuk kepentingan melanggengkan politik imperialistiknya, dan mengamankan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya di dunia Islam.
Negara-negara asing itu kini betul-betul tengah mengerubuti Indonesia bagaikan hidangan lezat yang dikerubuti oleh orang-orang lapar. Bagi hasil yang jauh dari keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita, adalah salah satu bukti nayta adanya cengkeraman kekuatan-kekuatan asing neo-imperialis itu terhadap Indonesia. Kita juga  melihat atas nama perdagangan dan pasar bebas, Indonesia dibanjiri barang impor yang sangat melemahkan sendi-sendi kehidupan sektor riil ekonomi umat Islam. Para petani, nelayan, pedagang kecil jatuh bergelimpangan akibat membanjirnya barang impor tanpa ada yang peduli dan memberikan advokasi. Kecenderungan mengimpor barang asing yang terkesan tanpa batas itu, berakibat pada kerugian petani, peternak, pedagang kecil dan sebagainya akibat kalah bersaing. Muhammadiyah dengan keterbatasan yang ada berusaha memberikan pendampingan dan advokasi melalui kerja-kerja kreatif seperti pendampingan terhadap petani dari mulai menanam hingga pasca panen dan seterusnya.
Para musuh Allah itu di samping menyerang umat Islam dengan kekerasan, mereka dengan kekuatan dana yang melimpah, juga menyerang umat Islam dari  berbagai aspek kehidupan, menjadikan umat Islam sebagai korban kekerasan wacana mereka. Untuk menyesatkan aqidah umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, dibuatlah terjemahan Alquran yang menguatkan dan mendukung konsep ketuhanan mereka. Di antara terjemahan itu misalnya, “ al-Naas”  diterjemahkan, tuhan manusia, bukan tuhannya manusia. Mereka juga membiayai beberapa LSM dengan tugas membuat wacana baru dan tafsir baru tentang Alquran, As-Sunnah dan keislaman. Dari suntikan dana itu, lahir produk pemikiran dari salah satu LSM yang didanai mereka bahwa Alqur’an itu tidak lagi relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Karena itu Alquran perlu direvisi, dan syariat dinyatakan  tidak berlaku sepanjang zaman. Pemikiran mereka yang lain tercermin pada draft mengenai revisi undang-undang penikahan yang ditawarkan kepada DPR RI. Di antara isinya, pernikahan itu hanya berlangsung di kurun waktu tertentu, bisa diperpanjang dan bisa juga diakhiri masa berlakunya, asas penikahan pluralistik sehingga wanita muslimah boleh dinikahi laki-laki non muslim, sah tidaknya suatu pernikahan bukan sesuai dengan agama apa tidak, melainkan sangat tergantung pada pengesahan yang diberikan oleh pemerintah, orang non muslim berhak memilki hak kewarisan terhadap keluarga muslim dan lain-lain. Upaya lain adalah dengan sengaja mendorong maraknya adegan pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat baik melalui media elektronik maupun tontonan langsung. Mereka bersinergi dengan pengusaha hiburan yang hanya mementingkankan keuntungan materi, meski dengan mengorbakan moralitas bangsa. Dengan kekuatan dana itu pula, mereka mencoba meruntuhkan sebagian iman saudara seiman kita  dengan rayuan kenikmatan materi.  
Mengapa  semua itu bisa terjadi? Pertama, karena penguasa yang mendapatkan amanah untuk memimpin dan mengurusi kaum muslimin di berbagai negeri Islam justru malah memberikan loyalitasnya kepada negara-negara kafir imperialis. Bertahun-tahun keadaan itu terus berlangsung, dan hingga kini umat belum juga mampu menghentikannya. Akibat loyal kepada negara-negara kafir itu, timbullah ketergantungan dan bahkan penjajahan. Alih-alih kesejahteraan yang diperoleh, justru nestapa rakyatlah yang ada. Selain itu, secara imâniy, penyerahan loyalitas kepada kaum kafir memang hanya akan mendatangkan kenestapaan, penyesalan dan kegagalan.
Kedua, akibat ketakaburan umat Islam yang ditunjukkan dengan meninggalkan yang dimaui oleh Allah SWT dan mencampakkan  keteladanan Rasul SAW, menyebabkan kekuatan, kebesaran, kehormatan dan kemuliaan Islam dan umatnya lenyap. Sesungguhnya kehormatan, kewibawaan, kemuliaan serta kekuatan Islam hanya mungkin didapat melalui penerapan dan ketundukan total padaAllah. Allah SWT menegaskan, bahwa al-‘izzah hanyalah ada pada Allah SWT, Rasul dan kaum mukmin.
Berdasarkan hal itu, agar umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, segera dapat lepas dari berbagai nestapa, maka marilah kita terus menerus melakukan takbir di seluruh bagian dari kehidupan kita, di dalam atau di luar masjid, di dalam atau di luar shalat kita, di tengah atau di luar ibadah mahdah kita, pendek kata di setiap saat dan tempat. Marilah kita menjauhkan diri dari sikap takabur, yakni abai terhadap al-Quran dan syariat Allah dan malas memperjuangkannya.
Selain menghindari takabur, pada hari bahagia ini kita juga harus bertekad meningkatkan syukur kita kepada Allah. Syukur yang benar adalah ketika kita menggunakan nikmat hidup kita untuk membesarkan asma Allah, menjunjung tinggi syariat-Nya dan menyayangi hamba-hamba-Nya. Kita gunakan nikmat kekuasaan, kekayaan dan pengetahuan untuk sebesar-besarnya mewujudkan kehendak Allah SWT di muka bumi ini. Bila di antara kita kaya, kekayaan itu kita gunakan di jalan yang halal saja, kita serahkan sebagian rizki kita untuk menolong orang miskin, membayar zakat, membiayai pendidikan dan kesehatan mereka, atau membiayai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam. Itulah perwujudan dari syukur kita kepada Allah SWT. Kita yang berilmu, dapat mewujudkan syukur kita dengan menyebarkan ilmu kita sehingga orang lain memperoleh manfaat, memberi petunjuk kepada orang yang bingung dan memberi pengetahuan buat orang yang bodoh. Bagi kita  yang tengah berkuasa, syukur dapat diwujudkan dengan menggunakan kekuasaan dengan penuh amanah, melindungi yang lemah, menolak yang dzalim, membasmi yang batil dan menegakkan keadilan dan kebenaran sehingga ketika kita meninggal orang menangis karena kehilangan pemimpin yang mendatangkan nikmat buat mereka.
Secara operasional kiranya ada beberapa hal penting yang harus kita dilakukan, antara lain:
      1. Kita tanamkan di hati, rasa bangga menjadi muslim yang mengamalkan syariat dalam pengertian yang seluas-luasnya. Berpenampilan santun adalah pengamalan syariat. Memperlihatkan kepedulian dan memberikan perlindungan terhadap anak-anak yatim, fakir miskin dan janda-janda miskin dengan memberikan santunan kepada mereka adalah mengamalkan syariat. Tidak gampang memaki dan mengumpat orang, tidak memfitnah dan memprovokasi orang untuk bersitegang, adalah pengamalan syariat. Memberikan rasa aman pada orang lain; muslim atau non muslim, adalah pengamalan syariat. Tidak memilih cara-cara distruktif dalam menyelesaikan masalah, adalah pengamalan syariat dan sebagainya.
2.    Terus menerus menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup yang akan mengeluarkan seluruh manusia dari kegelapan dan segenap kerusakan hidup kepada cahaya dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maka Islam adalah totalitas, bukan semata syiar-syiar ibadah ritual. Islam meliputi akidah dan syariat yang mengatur seluruh sisi hidup manusia agar tercapai rahmat bagi sekalian alam.
3.    Terus-menerus menumbuhkan kesadaran politik Islam dalam tubuh umat bahwa musuh-musuh Islam selalu melakukan tipu daya untuk menghancurkan keagungan Islam dan memperdaya umatnya. Maka harus ada tekad untuk tidak menyerahkan loyalitas kita kepada kaum kafir imperialis.
4.    Secara bersama menyatukan barisan kaum muslimin agar tidak mudah terprovokasi.
5.    Membangun dan memperkuat ukhuwah.  Penting dikemukakan, dengan mengacu pada QS. 49: 10, Al-Alusi dalam kitab Rauhu al-Ma’ânỉ fỉ Tafsỉr al-Qur’ânỉ wa al-Sab’i al-Masânỉ, berpandangan bahwa fondasi ukhuwah adalah keimanan. Dengan keimanan itu, setiap individu muslim diikat dalam suatu persaudaraan permanen yang menempatkan satu sama lain hidup dalam satu ikatan. Ikatan seiman dan keimanan kepada Allah, kapada para malaikat, kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, kepada Rasul-Rasul Allah, kepada hari akhir (QS. 4: 136) dan keimanan kepada qadar Allah (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Umar ibn a-Khaththab). Mengabaikan unsur-unsur keimanan tersebut menempatkan seseorang pada kesesatan (QS. 4: 136) dan tercerabut dari fondasi ukhuwah. Substansi ukhuwah dengan demikian, bukan terletak pada keseragaman akan tetapi pada terpeliharanya fondasi ukhuwah dan adanya semangat saling menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan) dan saling mengasihi serta saling peduli (fỉ talâthufihim wa tarâhumihim). Substansi lain adalah, adanya upaya secara terus menerus melakukan ishlah, perbaikan, kedamaian dan keharmonisan betatapapun dalam perbedaan pandangan dan pemikiran. Yang ideal memang memiliki fondasi dan substansi ukhuwah, sekaligus ada keseragaman pandangan. Tapi manakala keseragaman belum bisa digapai, fondasi dan substansi ukhuwah relevan untuk terus dikedepankan
6.    Jauhkan dari benak kita keputusasaan, perasaan sudah tidak ada jalan lagi, perasaan sudah mentok dan lain sebagainya, karena rekayasa musush-musuh Islam super canggih  sehinga memilih cara-cara nekad dan membabi buta dalam memperjuangkan agama Allah SWT seperti melakukan teror dan memamerkan cara-cara kekerasan. Wala taku fi dhaiqim mimma yamkurun (QS. 16: 127); jangan menjadi sempit pandangan dan wawasan karena rekayasa-rekayasa mereka.
7.    Amalkan makna takbir dalam kehidupan, dan tidak menjadikan kalimat Allahu Akbar  sekedar alat mengeraskan teriakan waktu demo dan mendengarkan ceramah.
     Bila hal ini bisa dilakukan niscaya kegelapan yang saat ini menyelimuti kehidupan negeri-negeri muslim dalam berbagai bidang kehidupan akan digantikan oleh cahaya Islam yang membawa kebahagiaan. [9]: 32-33).
(Disadur dari Khutbah Idul Adha Dr. Abdul Fatah Wibisono)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI