MEWUJUDKAN SPIRIT TAKBIR DALAM KEHIDUPAN
Refleksi Idul Adha 1440
H
Oleh : Khilmi Zuhroni

Syariat qurban dilakukan pada setiap hari raya haji dan
tiga hari berikutnya. Semangat lebih mengedepankan Allah di atas kepentingan
manapun, menjadi inti dari ibdah qurban, sekaligus menjadi indikator ketaqwaan
seseorang. Allah menegaskan hal ini dalam surat
al-Hajj ayat 37:
Artinya, ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan
Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.”
Manusia bertaqwa
adalah manusia yang tunduk kepada semua aturan-aturan Allah, melaksanakan semua
yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya, serta
mempersiapkan diri menyongsong tibanya hari kematian. Ketundukan itu merupakan
implementasi dari rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan segala yang Ia
miliki, termasuk memberikan Al Quran sebagai petunjuk, penjelas, dan pembeda
antara yang baik dengan yang buruk, antara yang haq dengan batil, antara yang
terpuji dengan yang tercela, antara jalan bahagia dan jalan celaka. Ketundukan
itu juga merupakan implementasi dari bertakbir; untuk hanya memprioritaskan
Allah semata.
Manusia bertaqwa
adalah manusia yang selalu mengedepankan maunya Allah di atas segala-gelanya.
Itulah makna bertakbir pada Allah. Untuk menjadi orang yang bertakbir dalam
kehidupan keseharian, Allah telah memberikan latihan yang relatif memadai, dan
hal itu selalu menjadi bagian tak terpisahkan dengan peribadatan. Seluruh
ibadah kita sesungguhnya adalah takbir, karena yang kita lakukan sesunguhnya
adalah mengecilkan apapun selain Allah Yang Maha Besar. Dalam ibadah shaum
umpamanya, takbir kita cerminkan dengan mengecilkan dan mengabaikan pengaruh
hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati. Kita rela menahan lapar
dan dahaga serta pantangan-pantangan lain baik yang bersifat indra lahiriah
maupun indra batiniah. Kita kecilkan dan abaikan kemauan-kemauan hawa nafsu
untuk hanya mengakomodir kemauan Allah demi mendapatkan ridha-Nya. Ketika
membaca Al Quran dan mengesampingkan omongan yang tidak bermanfaat, dan ketika
berdiri shalat malam di bulan Ramadhan, sesungguhnya kita tengah lebih
memusatkan diri pada kalamullah dan
mengecilkan seluruh urusan duniawi untuk hanya membesarkan, mengagungkan dan
menomorsatukan perintah Allah.
Allah tahu, kita sering bertakbir dalam
ibadah-ibadah kita, tapi melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di
masjid, tapi di luar masjid kita besarkan yang lain. Kita agungkan kekayaan,
kekuasaan, kedudukan; kita besarkan hawa nafsu, kepentingan dan pikiran kita.
Di atas sajadah panjang, di masjid, di mushalla, di tempat-tempat ibadah, kita
gemakan takbir. Sementara di kantor, di pasar, di ladang, di tengah-tengah
masyarakat, kita lupa bertakbir - kita gantikan takbir dengan takabur. Ketika
duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang
seharusnya dipergunakan untuk memakmurkan negara, melayani dan mensejahterakan
rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita
manfaatkan untuk memperkaya diri. Kita bangga melihat rakyat yang seharusnya
kita layani, merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita. Kita bangga
dengan sedikit kecerdikan dan kelicikan
menumpuk keuntungan, kekayaan dan kekuasaan, walaupun kita lakukan
dengan mengorbankan rakyat. Di kantor, di jalanan, di tengah masyarakat, kita
singkirkan takbir, dan kita suburkan takabur. Takabbur, sebagai yang
didefinisikan Nabi SAW, adalah bathar
al-haq ghamtu al-nas; menolak
kebenaran Allah SWT dan meremehkan manusia.
Ketika bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika menjalankan bisnis, kita
tempuh cara apapun tanpa peduli halal dan haram, seakan Allah tidak pernah
hadir di hati kita, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menghancurkan
hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang demi memuluskan syahwat
bisnis kita. Itu takabur namanya, karena yang kita takbirkan bukan Allah,
melainkan syahwat bisnis dan ketama’an hati kita.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Hakim ibnu
Hizam Nabi SAW bersabda; Wahai Hakim! Harta itu mempesona (dan semua orang akan
selalu terpesona terhadapnya). Siapa yang mendapatkannya dengan cara dan hati
yang baik, Allah akan berkahi kekayaannya. Sebaliknya, barang siapa yang
mendapatkannya dengan penuh kerakusan, Allah SWT tidak akan memberkahinya dan
akan menjadikannya selalu berburu kekayaan. Dalam hadis lain Nabi SAW juga
mengingatkan bahwa, umat Islam akan mengalami kehancuran bila memperebutkan
kekayaan dengan cara-cara negatif, tidak sehat dan bersifat mengahancurkan.
Kita lupakan firman
Allah dan hadis-hadis itu. Labih dari itu, kita bahkan merasa hebat bila mampu
mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun mencampakkan firman Allah dan
sabda Rasul-Nya. Kita sudah menggantikan takbir dengan takabur. Di masjid kita
bertakbir, tapi di tengah-tengah masyarakat kita bertakabur. Kita sering
melihat inkonsistensi (kesenjangan) dalam perbuatan kita; ucapan dikhianati
oleh laku kita. Banyak orang yang khusyuk shalatnya, namun asyik dalam maksiyat.
Banyak orang yang fasih dalam melafalkan al-Quran, tapi piawai dalam
memperdayakan orang lain. Banyak orang yang tidak putus puasa dan melafalkan takbir dan tahlil, namun tidak putus pula kedzalimannya.
Ibnu Katsir dalam
kitab Tafsîr ul-Qurân il-‘Azhîm,
menyatakan bahwa siapa saja yang dibacakan kepadanya Al Qur’an, tapi tidak mau
mendengarkan dan membenarkan apa yang dikandungnya berarti ia telah tidak
mengacuhkan al-Quran. Termasuk tidak mengacuhkan al-Quran adalah orang yang tidak
mau mengkaji dan memahami atau mentadabburi al-Quran. Ataupun seandainya
mengkaji, itu dilakukan sekadar untuk mencari kepuasan intelektual (intellectual
exercise) saja, atau bahkan untuk menyenangkan penyandang dana kegiatan,
bukan untuk mengamalkan isinya. Begitu pula, orang yang tidak mau mengambil
hukum dari apa yang tersebut dalam al-Quran, sebaliknya malah berhukum kepada
hukum lain
baik yang diambil dari paham sekuler maupun dari tradisi atau kebiasaan nenek
moyang, juga disebut telah tidak mengacuhkan Al Quran. Sikap tidak takut atau
abai terhadap ancaman Allah SWT dalam Al Quran bagi orang yang tidak
mentaati-Nya, juga merupakan sikap tidak mengacuhkan Al Quran. Bila ini yang
terjadi, maka berarti kita tengah mempersiapkan
diri menerima kemalangan hidup di dunia dan akhirat. Secara i’tiqâdiy, siapapun
yang berpaling dari peringatan Allah Dzat Maha Sempurna dalam Al Quran dan As
Sunnah niscaya dia akan ditimpa kesengsaraan hidup: ”Dan barangsiapa berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (QS. 20: 124)
Kesempitan hidup itu sesungguhnya telah
dialami oleh bangsa ini. Krisis seakan tak pernah mau kunjung henti dan selalu
mengalami jalan buntu dan mentok. Penyakit korupsi, tidak tegas dan tebang pilih dalam penegakan hukum dan
penyakit kronis lain, seakan telah menyatu dalam kehidupan keseharian bangsa
ini. Junjungan kita sesungguhnya
telah mengingatkan umat Islam akibat yang akan diterima bila cara-cara busuk
masih menjadi bagian dari kehidupan kita. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah Rasulullah SAW mengingatkan: tidak ada aktivitas korup yang
dilakukan oleh suatu bangsa, melainkan Allah akan timpakan pada mereka krisis
yang berkepanjangan dan hadirnya penguasa lalim terhadap mereka.
Kesengsaraan itu juga bisa berbentuk peran dan posisi umat Islam yang
tidak pernah bisa menjadi penentu, tidak lebih dari sekedar jadi obyek rebutan
belaka. Bila diperlukan, didatangi ramai-ramai, dimanjakan dengan berbagai
janji dan kenikmatan sesaat. Sebaliknya, akan dicampakkan begitu saja bila
tidak lagi diperlukan. Dalam hal ini Nabi SAW meramalkan;
Artinya, Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian,
sebagaimana (mereka) memperebutkan
makanan untuk meremukannya. Apakah ketika itu kami kecil ya Rasulallah? Tanya
para sahabat. Kalian waktu itu justru besar, tapi kalian terkena penyakit “hub
a-dunya wa karâhiyat al-maut” (lebih mencintai kenikmatan sesaat dan enggan
menerima resiko. HR. Abu Daud
dari Tsauban).
Tantangan kita ke depan bisa juga berasal dari dalam dan luar negeri.
Tantangan itu bisa berbentuk fisik dan dan non fisik, baik politik, agama,
cultur maupun lainnya. Tantangan dari luar negeri berbentuk imperialisme gaya
baru yang dikomandani Amerika Serikat dan sekutunya dengan mengunakan topeng
menegakkan demokratisasi, HAM, kesetaraan jender, pluralisme dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan asing neo-imperialis itu kini tampak jelas tengah
mencengkeramkan kakinya di hampir seluruh negeri muslim yang sangat kaya sumberdaya alam dan strategis dari sudut
geopolitik, termasuk Indonesia. Peristiwa mutarakhir, atas nama HAM, demokratisasi dan menolong rakyat, mereka hancurkan
Libya. Mereka membuat pemerintahan boneka yang bernama Nasional Transisi Libya (NTC),
untuk lebih mengamankan kepentingan minyak yang melimpah ruah dari Libya. Begitu pula, perang melawan teroris hanyalah kedok
yang digunakan AS dan sekutunya untuk memerangi (calon) musuh potensialnya
pasca perang dingin, yakni umat Islam, sekaligus untuk kepentingan melanggengkan politik imperialistiknya, dan mengamankan kepentingan-kepentingan politik dan
ekonominya di dunia Islam.
Negara-negara asing
itu kini betul-betul tengah mengerubuti Indonesia bagaikan hidangan lezat yang
dikerubuti oleh orang-orang lapar. Bagi hasil yang jauh dari keadilan dalam
pengelolaan sumberdaya alam kita, adalah salah satu bukti nayta adanya
cengkeraman kekuatan-kekuatan asing neo-imperialis itu terhadap Indonesia. Kita juga
melihat atas nama
perdagangan dan pasar bebas, Indonesia dibanjiri barang impor yang sangat
melemahkan sendi-sendi kehidupan sektor riil ekonomi umat Islam. Para petani,
nelayan, pedagang kecil jatuh bergelimpangan akibat membanjirnya barang impor
tanpa ada yang peduli dan memberikan advokasi. Kecenderungan mengimpor barang asing yang terkesan tanpa batas itu, berakibat pada kerugian petani, peternak,
pedagang kecil dan sebagainya akibat kalah bersaing. Muhammadiyah dengan
keterbatasan yang ada berusaha memberikan pendampingan dan advokasi melalui
kerja-kerja kreatif seperti pendampingan terhadap petani dari mulai menanam
hingga pasca panen dan seterusnya.
Para musuh Allah itu
di samping menyerang umat Islam dengan kekerasan, mereka dengan kekuatan dana
yang melimpah, juga menyerang umat Islam dari berbagai aspek kehidupan, menjadikan
umat Islam sebagai korban kekerasan wacana mereka. Untuk menyesatkan aqidah
umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, dibuatlah terjemahan Alquran yang
menguatkan dan mendukung konsep ketuhanan mereka. Di antara terjemahan itu
misalnya, “ al-Naas” diterjemahkan, tuhan
manusia, bukan tuhannya manusia. Mereka juga membiayai beberapa LSM dengan
tugas membuat wacana baru dan tafsir baru tentang Alquran, As-Sunnah dan
keislaman. Dari suntikan dana itu, lahir produk pemikiran dari salah satu LSM
yang didanai mereka bahwa Alqur’an itu tidak lagi relevan dengan tuntutan dan
perkembangan zaman. Karena itu Alquran perlu direvisi, dan syariat
dinyatakan tidak berlaku sepanjang
zaman. Pemikiran mereka yang lain tercermin pada draft mengenai revisi
undang-undang penikahan yang ditawarkan kepada DPR RI. Di antara isinya,
pernikahan itu hanya berlangsung di kurun waktu tertentu, bisa diperpanjang dan
bisa juga diakhiri masa berlakunya, asas penikahan pluralistik sehingga wanita
muslimah boleh dinikahi laki-laki non muslim, sah tidaknya suatu pernikahan
bukan sesuai dengan agama apa tidak, melainkan sangat tergantung pada
pengesahan yang diberikan oleh pemerintah, orang non muslim berhak memilki hak
kewarisan terhadap keluarga muslim dan lain-lain. Upaya lain adalah dengan
sengaja mendorong maraknya adegan pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah
masyarakat baik melalui media elektronik maupun tontonan langsung. Mereka
bersinergi dengan pengusaha hiburan yang hanya mementingkankan keuntungan
materi, meski dengan mengorbakan moralitas bangsa. Dengan kekuatan dana itu
pula, mereka mencoba meruntuhkan sebagian iman saudara seiman kita dengan rayuan kenikmatan materi.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Pertama, karena
penguasa yang mendapatkan amanah untuk memimpin dan mengurusi kaum muslimin di
berbagai negeri Islam justru malah memberikan loyalitasnya kepada negara-negara
kafir imperialis. Bertahun-tahun keadaan itu terus berlangsung, dan hingga kini
umat belum juga mampu menghentikannya. Akibat loyal kepada negara-negara kafir
itu, timbullah ketergantungan dan bahkan penjajahan. Alih-alih kesejahteraan
yang diperoleh, justru nestapa rakyatlah yang ada. Selain itu, secara imâniy,
penyerahan loyalitas kepada kaum kafir memang hanya akan mendatangkan
kenestapaan, penyesalan dan kegagalan.
Kedua, akibat ketakaburan umat Islam yang
ditunjukkan dengan meninggalkan yang dimaui oleh Allah SWT dan
mencampakkan keteladanan Rasul SAW,
menyebabkan kekuatan, kebesaran, kehormatan dan kemuliaan Islam dan umatnya
lenyap. Sesungguhnya kehormatan, kewibawaan, kemuliaan serta kekuatan Islam
hanya mungkin didapat melalui penerapan dan ketundukan total padaAllah. Allah
SWT menegaskan, bahwa al-‘izzah
hanyalah ada pada Allah SWT, Rasul dan kaum mukmin.
Berdasarkan hal itu,
agar umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, segera dapat lepas
dari berbagai nestapa, maka marilah kita terus menerus melakukan takbir di
seluruh bagian dari kehidupan kita, di dalam atau di luar masjid, di dalam atau
di luar shalat kita, di tengah atau di luar ibadah mahdah kita, pendek kata di
setiap saat dan tempat. Marilah kita menjauhkan diri dari sikap takabur, yakni
abai terhadap al-Quran dan syariat Allah dan malas memperjuangkannya.
Selain menghindari
takabur, pada hari bahagia ini kita juga harus bertekad meningkatkan syukur
kita kepada Allah. Syukur yang benar adalah ketika kita menggunakan nikmat
hidup kita untuk membesarkan asma Allah, menjunjung tinggi syariat-Nya dan menyayangi
hamba-hamba-Nya. Kita gunakan nikmat kekuasaan, kekayaan dan pengetahuan untuk
sebesar-besarnya mewujudkan kehendak Allah SWT di muka bumi ini. Bila di antara
kita kaya, kekayaan itu kita gunakan di jalan yang halal saja, kita serahkan
sebagian rizki kita untuk menolong orang miskin, membayar zakat, membiayai
pendidikan dan kesehatan mereka, atau membiayai kegiatan dakwah dan perjuangan
Islam. Itulah perwujudan dari syukur kita kepada Allah SWT. Kita yang berilmu,
dapat mewujudkan syukur kita dengan menyebarkan ilmu kita sehingga orang lain
memperoleh manfaat, memberi petunjuk kepada orang yang bingung dan memberi
pengetahuan buat orang yang bodoh. Bagi kita
yang tengah berkuasa, syukur dapat diwujudkan dengan menggunakan
kekuasaan dengan penuh amanah, melindungi yang lemah, menolak yang dzalim,
membasmi yang batil dan menegakkan keadilan dan kebenaran sehingga ketika kita
meninggal orang menangis karena kehilangan pemimpin yang mendatangkan nikmat
buat mereka.
Secara operasional
kiranya ada beberapa hal penting yang harus kita dilakukan, antara lain:
1. Kita
tanamkan di hati, rasa bangga menjadi muslim yang mengamalkan syariat dalam
pengertian yang seluas-luasnya. Berpenampilan santun adalah pengamalan syariat.
Memperlihatkan kepedulian dan memberikan perlindungan terhadap anak-anak yatim,
fakir miskin dan janda-janda miskin dengan memberikan santunan kepada mereka
adalah mengamalkan syariat. Tidak gampang memaki dan mengumpat orang, tidak
memfitnah dan memprovokasi orang untuk bersitegang, adalah pengamalan syariat.
Memberikan rasa aman pada orang lain; muslim atau non muslim, adalah pengamalan
syariat. Tidak memilih cara-cara distruktif dalam menyelesaikan masalah, adalah
pengamalan syariat dan sebagainya.
2. Terus menerus menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah
jalan hidup yang akan mengeluarkan seluruh manusia dari kegelapan dan segenap
kerusakan hidup kepada cahaya dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maka
Islam adalah totalitas, bukan semata syiar-syiar ibadah ritual. Islam meliputi
akidah dan syariat yang mengatur seluruh sisi hidup manusia agar tercapai
rahmat bagi sekalian alam.
3. Terus-menerus menumbuhkan kesadaran politik Islam dalam
tubuh umat bahwa musuh-musuh Islam selalu melakukan tipu daya untuk
menghancurkan keagungan Islam dan memperdaya umatnya. Maka harus ada tekad
untuk tidak menyerahkan loyalitas kita kepada kaum kafir imperialis.
4. Secara bersama menyatukan barisan kaum muslimin agar tidak
mudah terprovokasi.
5. Membangun dan memperkuat ukhuwah. Penting dikemukakan, dengan mengacu pada QS. 49: 10, Al-Alusi dalam kitab Rauhu al-Ma’ânỉ fỉ
Tafsỉr al-Qur’ânỉ wa al-Sab’i al-Masânỉ, berpandangan bahwa fondasi ukhuwah adalah keimanan. Dengan keimanan itu, setiap
individu muslim diikat dalam suatu persaudaraan permanen yang menempatkan satu
sama lain hidup dalam satu ikatan. Ikatan seiman dan keimanan kepada Allah,
kapada para malaikat, kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, kepada
Rasul-Rasul Allah, kepada hari akhir (QS. 4: 136) dan keimanan kepada qadar
Allah (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Umar ibn a-Khaththab). Mengabaikan
unsur-unsur keimanan tersebut menempatkan seseorang pada kesesatan (QS. 4: 136)
dan tercerabut dari fondasi ukhuwah. Substansi ukhuwah dengan demikian, bukan terletak pada keseragaman akan tetapi pada
terpeliharanya fondasi ukhuwah dan adanya semangat saling
menghargai, saling mendukung, saling memperkokoh (yasyuddu ba’dhuhû ba’dhan)
dan saling mengasihi serta saling peduli (fỉ talâthufihim wa tarâhumihim).
Substansi lain adalah, adanya upaya secara terus menerus melakukan ishlah,
perbaikan, kedamaian dan keharmonisan betatapapun dalam perbedaan pandangan dan
pemikiran. Yang ideal memang memiliki fondasi dan
substansi ukhuwah, sekaligus ada keseragaman
pandangan. Tapi manakala keseragaman belum bisa digapai, fondasi dan substansi ukhuwah relevan untuk terus dikedepankan
6. Jauhkan dari benak kita keputusasaan, perasaan sudah
tidak ada jalan lagi, perasaan sudah mentok dan lain sebagainya, karena
rekayasa musush-musuh Islam super canggih
sehinga memilih cara-cara nekad dan membabi buta dalam memperjuangkan agama
Allah SWT seperti melakukan teror dan memamerkan cara-cara kekerasan. Wala taku fi dhaiqim mimma yamkurun (QS.
16: 127); jangan menjadi sempit pandangan dan wawasan karena rekayasa-rekayasa
mereka.
7. Amalkan makna takbir dalam kehidupan, dan tidak menjadikan
kalimat Allahu Akbar sekedar alat
mengeraskan teriakan waktu demo dan mendengarkan ceramah.
Bila hal ini bisa dilakukan niscaya
kegelapan yang saat ini menyelimuti kehidupan negeri-negeri muslim dalam
berbagai bidang kehidupan akan digantikan oleh cahaya Islam yang membawa
kebahagiaan. [9]: 32-33).
(Disadur dari Khutbah
Idul Adha Dr. Abdul Fatah Wibisono)
Komentar
Posting Komentar