Pengertian, Ciri dan Prinsip Ekonomi Syariah

 Oleh: Khilmi Zuhroni



Tujuan utama syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat. Islam sebagai agama rahmat memberikan tuntunan kepada manusia agar tidak semata-mata menghabiskan hidupnya hanya untuk urusan kekayaan dunia semata, atau sebaliknya hidup semata-mata mengejar akhirat saja. Tetapi Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ 

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. 

 

Makna kesimbangan dalam Islam tidak hanya menyangkut alokasi pendapatan dan belanja, keseimbangan kesejahteraan individu dan sosial, keseimbangan pembangunan pusat dan daerah, keseimbangan pembangunan perkotaan dan daerah pedesaan, tapi lebih jauh dari itu keseimbangan dalam Islam secara prinsip menyangkut keseimbangan antara spiritual dan material, keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Para pakar mendefinisikan ekonomi Islam secara beragam. Muhammad bin Abdullah al Arabi mengungkapkan bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an, Sunnah dan pondasi ekonomi yang dibangun atas dasar pokok-pokok itu dengan pertimbangan lingkungan dan waktu. Sementara itu Muhammad Baqir Ash-Shadr berpendapat bahwa :

Ekonomi Islam adalah sebuah doktrin dan bukan merupakan suatu ilmu pengetahuan, karena ia adalah cara yang direkomendasikan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi, bukan merupakan suatu penafsiran yang dengannya Islam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya.

 

Pengertian ekonomi islam tersebut digunakan oleh Muhammad Baqir Ash Sadr untuk membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi pada umumnya (konvensional) yang hanya merupakan penjelasan perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa, dan fenomena lahiriahnya serta berbagai sebab yang mempengaruhinya.

Umer Chapra berpendapat bahwa Islam memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem ekonomi yang berlaku. Tujuan-tujuan Islam (Maqashid asy-Syari’ah) demikian halnya tujuan ekonomi Islam, bukan semata-mata bersifat materi, melainkan didasarkan pada konsep mengenai kesejahteraan umat manusia (falah) dan kehidupan yang baik (al-hayah al-tayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosial-ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spiritual umat manusia.

Adapun Monzer Kahf berpandangan, bahwa sebagai suatu bagian dari agama, maka ekonomi Islam harus mengandung aspek-aspek yang merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, di mana pencapaian falah (kesuksesan dunia dan akhirat) sebagai tujuan utama tidak saja bagi individu dalam tindakan mereka, tetapi juga masyarakat dalam interaksi lingkungan dan tujuannya. Selain itu, ekonomi Islam juga bertujuan untuk efisiensi, pertumbuhan, dan keadilan dan nilai-nilai lainnya yang semuanya harus memenuhi syarat yang didasarkan dan ditafsirkan dalam paradigma Islam. 

Terkait ciri-ciri ekonomi Islam, Nejatullah Siddiqi sebagaimana diulas oleh Yadi Janwari memiliki ciri sebagai berikut. Pertama, adanya hak relatif dan terbatas bagi individu, masyarakat, dan negara. Yang berarti bahwa setiap orang diberi kebabasan untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur hak miliknya. Namun, semua hak yang diberikan harus didasari dengan adanya kewajiban manusia sebagai kepercayaan Allah SWT di muka bumi.

Kedua, negara dalam sistem ekonomi Islam memiliki peranan yang positif dan aktif dalam kegiatan ekonomi. Negara berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar bagi semua orang, di samping itu juga negara memiliki hak untuk melakukan intervensi serta melakukan amar ma’ruf nahyi munkar terhadap pasar manakala terjadi ketidakadilan di pasar.  

Ketiga, sistem ekonomi Islam mengimplementasikan zakat dan pelarangan riba. Implemantasi kedua pranata ini merupakan ciri khas ekonomi Islam karena keduanya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Siddiqi berpandangan bahwa bunga yang ada dalam lembaga perbankan adalah termasuk riba, sehingga harus ditinggalkan. Akad mudlarabah dapat diterapkan untuk mengganti sistem bunga, di mana bank tidak hanya berfungsi sebagai perantara, tapi juga harus berperan sebagai agen ekonomi dan menciptakan kegiatan ekonomi.  

Keempat, ciri dari sistem ekonomi Islam menurut Siddiqi adalah adanya jaminan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Jaminan atas kebutuhan dasar ini sama halnya dengan program-program pemenuhan kesejahteraan sosial ekonomi yang diimplementasikan dengan cara distribusi aset dan kekayaan yang berdampak pada pemerataan pendapatan yang adil dalam jangka waktu yang terus berkelanjutan. 

Pelaksanaan ekonomi Islam dalam praktinya perlu diperhatikan prinsip-prinsip yang sesuai dengan nilai dan paradigma ekonomi Islam.  Menurut Umer Chapra, ada tiga prinsip yang paling pokok dalam ekonomi syariah. Yakni: Tauhid, Khilafah, dan ‘Adalah

a. Prinsip Tauhid

Prinsip Tauhid adalah dasar utama dalam Islam. Di mana Tauhid berarti mengakui bahwa hanya Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang menciptakan manusia, alam dan segala isinya. Dialah yang Maha Pencipta dan Pemelihara dan Hanya kepada-Nya semua makhluk yang bernyawa akan dikembalikan. Kesadaran pada prinsip Tauhid ini akan membawa manusia pada kesadaran bahwa semua harta, kekayaan, kehidupan dan kematian sepenuhnya adalah milik Allah SWT yang dipercayakan pada manusia dan pada saatnya akan kembali dan dipertanggung jawabkan kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ  

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

 

b. Prinsip Khilafah

Prinsip khilafah bermakna bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia di muka bumi untuk mengemban amanah kekhalifahan dalam rangka memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Tidak berbuat kerusakan dan tidak juga berbuat yang sia-sia. Dengan kesadaran amanah kekhilafahan ini, manusia akan senantiasa berhati-hati dalam menjalan aktifitas kehidupan dan ekonominya, baik sebagai individu, masyarakat maupun sebagai bagian dari tugas mengemban amanah negara. Allah SWT berfirman :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

c. Prinsip ‘Adalah (Keadilan)

Islam menempatkan prinsip keadilan sebagai inti semua hukum yang mengatur ekonomi. Pada tataran konseptual keadilan menjadi sebuah konsep yang universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, ajaran setiap agama dan bahkan ajaran berbagai aliran filsafat moral.  

Sebagai nilai yang sangat mendasar dalam mengatur kehidupan sosial kemanusiaan, dalam Al-Qur’an Allah SWT banyak memerintahkan berlaku adil dan pentingnya mengedepankan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 

 

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Oleh karena keadilan menjadi prinsip yang penting untuk diaplikasikan dalam masyarakat agar terbentuk kesolidan sosial. Keadilan memiliki implikasi sebagai berikut. 

1) Keadilan Sosial

Semua manusia memiliki derajat yang sama dimata Allah SWT. Hukum Allah SWT tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, pejabat dan rakyat, demikian juga tidak membedakan warna kulit, suku dan bangsanya. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan amal perbuatannya.

2) Keadilan Ekonomi

Konsep keadilan sosial harus diimbangi dengan keadilan ekonomi. Tanpa perimbangan tersebut, keadilan sosial akan kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan memperoleh haknya sesuai dengan kontribusinya ditengah masyarakat.

3) Keadilan Distribusi Pendapatan

Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, akan berlawanan dengan semangat keadilan sosial dan ekonomi. Dalam Islam distribusi harta kekayaan harus dilakukan secara merata di antara manusia, dalam arti tidak ada pihak yang terlalu berlebihan dan tidak ada kekurangan. Hal ini bukan berarti Islam sejalan dengan ekonomi sosialis yang mengutamakan pada kesamarataan, akan tetapi adanya perbedaan kekayaan ditolerir selama dilakukan secara wajar dan dengan cara yang halal.

Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT :

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

 

Pengertian, ciri dan prinsip ekonomi Islam di atas menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan  antara  Syariat  Islam  dengan  kemaslahatan.  Ekonomi  Islam  yang  merupakan  salah  satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam (Maqashid As-Syari’ah).  Yakni,  merealisasikan  tujuan  manusia  untuk   mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik, dan terhormat (al-hayah al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI