EGO PROFETIK
Oleh : Khilmi Zuhroni
Penciptaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan,
manusia turut ambil bagian di dalamnya dan setiap saat menciptakan
situasi-situasi dan produk-produk baru. Kehidupan bukanlah sesuatu yang siap
jadi; keinginan-keinginan, hasrat-hasrat baru selalu menciptakan kehidupan baru
dalam kehidupan ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Iqbal dalam Payam-i-Mashriq:
Kau ciptakan malam dan aku menciptakan lampu
Kau ciptakan lempung dan aku menciptakan cawan…
Akulah yang mengubah batu menjadi cermin
Akulah yang menjadikan racun sebagai obat penawar
Kebesaran manusia terletak dalam daya ciptanya…[1]
Hidup
adalah sesuatu yang terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk
senantiasa menerima cahaya-cahaya baru dari realitas yang tak terbatas yang
setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru.
Nature not as something static, situate in an
infinite void, but a structure of inter-related event out of whose mutual
relations arise the concept of space and time. And this is only another way of
saying that space and time are interpretations which thought puts upon the
creative activity of the Ultimate Ego.[2]
(Alam tidak sebagai sesuatu yang statis, yang
terletak dalam rongga tak terhingga, melainkan sebagai suatu truktur peristiwa-peristiwa
yang saling berhubungan, yang pada akhirnya melahirkan pengertian-pengertian
tentang ruang dan waktu. Dengan kata lain bahwa konsep ruang dan waktu ini
dipahami oleh pikiran terhadap aktifitas yang kreatif dari Ego-Terakhir).
Disisi lain
kemampuan untuk terus terlibat dalam proses semesta itu juga tidak bisa
dijalankan hanya dengan bergantung pada kemampuan yang lain. Setiap individu
aktif sebagaimana dalam kesadaran kenabian harus terus menggali kekuatan
dirinya. Dalam Islam, sebagaimana kata Iqbal :
Kenabian itu sudah sampai pada kesempurnaan bila
ia sudah dapat menemukan perlunya menghapuskan diri sendiri. Ini mengandung
suatu pelajaran yang dalam, bahwa hidup tidak dapat selamanya harus dituntun;
supaya dapat menyelesaikan kesadaran diri sepenuhnya yang pada akhirnya musti
kembali kepada kemampuannya sendiri.[3]
Terasa
sekali apa yang dikatakan Iqbal bahwa kesempurnaan kenabin adalah tatkala telah
sampai pada penghapusan sendiri, tidak jauh berbeda dengan konsep zuhūd
dalam tingkatan perjalanan sutistik. Yakni sikap tidak tergantung terhadap
hasrat duniawi. Berusaha memaksimalkan kemampuan diri, serta tidak banyak
bergantung kepada kemampuan pribadi yang lain. Nampaknya dalam banyak hal
konsepsi kesadaran profetik, Iqbal sangat afirmatif (erat hubungannya) dengan
stasiun-stasiun dalam tasauf.
Lebih jauh,
apa yang disebut Iqbal sebagai kesadaran kenabian adalah sebuah konstruksi
kehidupan yang terus mengalami proses menuju kesempurnaan, dimana manusia yang
disebut al-Qur’an sebagai wakil Tuhan juga sangat terlibat aktif dalam proses
menuju kesempurnaan itu. Seperti halnya yang disampaikan Iqbal bahwa semua
makhluk selalu berkembang dan mengembangkan jenisnya untuk senantiasa
menyesuaikan diri dengan lingkunga sekitarnya. Dari proses penyesuaian itu
terdapat mekanisme evolusi hidup untuk selalu memperbaiki diri, sebab sesuai
dengan ajaran al-Qur’an bahwa pada dasarnya alam ini dinamis, terbatas
(waktunya), dan dapat bertambah. Dengan demikian kewajiban pribadi muslim
adalah merenungkan perjalanan semesta yang dinamis itu. Tidak membiarkannya
begitu saja sebagai orang yang tuli atau buta. Sebab orang-orang yang
membiarkan begitu saja proses perjalanan itu dalam hidupnya, ia akan tetap buta
terhadap kenyataan-kenyataan hidup yang akan datang. Dengan proses menuju tahap
kesempurnaan itu memberikan kemungkinan manusia selanjutnya untuk senantiasa
kerja kreatif. [4]
Dengan
berpegang pada pendapatnya bahwa dunia ini adalah sesuatu yang konkret, Iqbal mencoba
menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang digali dari metode induksi,
observasi kritis, dan eksperimentasi terhadap prinsip dinamisme perjalanan
semesta tersebut. Menurut Iqbal, pengalaman batin itu tidak satu-satunya sumber
pengetahuan manusia, dalam al-Qur’ān ada dua sumber pengetahuan lain,
yakni alam dan sejarah. Iqbal berusaha menjelaskan adanya anggapan yang
mengatakan bahwa metode eksperimen itu berasal dari Barat Yunani, apalagi Eropa
adalah tidak benar. Menurutnya Ibnu Hāzm telah memulai konsepsi pengetahuan
yang didasarkan pada cerapan pengindraan.[5]
Dalam
konsepsi kesadaran profetik, Iqbal ingin menyampaikan bahwa keterlibatan
manusia terhadap semesta dan sejarahya serta dengan pengetahuan yang mendalam
tentang keduanya, memberi arti kreatif
adanya hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi
suatu kekuatan dunia yang berjiwa. Yakni sebuah hasrat mencari bukti dan
kesaksian wujudnya, sebab tanpa kesaksian wujud itu tidak lain bagai warna dan
aroma pada setangkai bunga. Jika tidak dicium dan dipandang tak adalah arti
bagi aroma dan warnanya.[6]
Jika
dirunut dalam tradisi filsafat Islam, nampaknya apa yang disebut Muhammad Iqbal
sebagai kesadaran profetik, akan dapat ditemukan pula dalam konsepsi filsafat
kenabian di kalangan filosof Islam awal. Al-Fārābī misalnya, sejak awal sekali
telah memberikan satu konsepsi manusia ideal yang menurutnya diangga mampu
menjadi pemimpin bagi masyarakat. Namun berbeda dengan Al-Fārābī yang
mengatakan bahwa daya imajinasi yang kuat yang terdapat pada nabi-nabi semata
merupakan pemberian Tuhan karenanya disebut sebagai manusia pilihan, Iqbal
menganggap bahwa jiwa-jiwa kreatif yang berkesadaran profetik itu sepenuhnya
merupakan proses usaha yang terus-menerus dari pribadi. Usaha itu harus dicapai
secara maksimal dengan penyerahan, hasrat, gairah dan kekuatan diri. Sebab
tanpa gairah untuk mencapai tingkat perwakilan Ilahi, pribadi tidak akan sampai
pada tujuannya. [7]
Gairah adalah ruh dunia
ini dari warna-warna dan wewangiannya
Seluruh kesucian
merupakan kepatuhan akan gairah
Yang hendak menarikan
hati dalam dada
Diberinya tenaga dahsyat
bagi bumi
Hati menyerap hidup dari
nyala gairah[8]
Apa yang
disebut Iqbal, sebagai gerak kreatif pribadi ini juga dapat ditemukan juga
dalam pemikiran Ibnu ‘Arabī tentang santo atau nabi. Menurutnya wakil (khalīfah)
dari Tuhan adalah Ruh Muhammad yang terus-menerus memanifestasikan dirinya
dalam bentuk-bentuk nabi dan santo-santo (kelas manusia yang termasuk dalam
kateori manusia sempurna) yang masing-masing bisa disebut sebagai khalīfah.
Dan kini, oleh karena kerasulan dan kenabian itu telah berakhir, ke-khalīfah-an
umum sajalah yang tinggal dan telah
menjadi warisan eksklusif dari santo-santo muslim yang juga merupakan
pengikut-pengikut dari hukum Muhammad.[9]
Dalam
pengertian bahwa sekalipun tradisi kenabian itu telah berakhir dengan Muhammad
sebagai penutup, namun visi-visi dari tugas utama kenabian akan terus
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Ego profetik dalam pemikiran Iqbal
bukanlah secara fisik sebagaimana adanya utusan-utusan terdahulu, namun lebih
sebagai manifestasi pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran kenabian. Yakni
adanya dorongan untuk terus-menerus melahirkan jiwa-jiwa kreatif dan memahami
bahwa aktifitas kreatif sebetulnya adalah aktifitas Ilahi, mengingat dia telah
sampai pada mitra Ilahi.
Sebagaimana
telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya bahwa kesadaran profetik
mengidentifikasi diri melalui pengembangan kesadaran dalam aktifitas kreatif
yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktifitas kreatifitas diri adalah
akfititas Ilahi. Dengan demikian sebagai titik pusat dari kekuatan diri,
konsepsi Ego sepenuhnya menggambarkan sesuatu yang terus-menerus berproses
mencapai tingkat kesempurnaan. Melalui jiwa
kreatif, Ego membentuk diri mereka ke dalam suatu system yang tersusun dengan
baik, yang secara bertahap bergerak kearah kesempurnaan. Eksistensi Ego ditentukan oleh sikap, kemauan,
maksud-maksud dan cita-citanya. Ia tidak dapat dilihat sebagai suatu benda
dalam ruang, atau sebagai deretan pengalaman dalam rentang waktu, tetapi ia
harus ditafsirkan, dipertimbangkan, dipahami dan dihargai dari sikap, kemauan
dan tindakannya tersebut.[10]
Perjuangan dalam pengalaman yang bertindak
dengan tujuan inilah yang meyakinkan diri akan efisiensinya sebagai person.
Sifat hakiki suatu tindakan yang bertujuan adalah pandangannya kepada situasi
di masa depan. Demikianlah adanya unsur bimbingan dan kontrol dalam Ego
menunjukkan bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka.
Dalam
kesadaran profetik, Ego menemukan suasana diri dan keharusan untuk selalu
memiliki hasrat dan tujuan menjalankan aktifitas-aktifitas kreatif. Melalui kesadaran
bahwa aktifitas kreatifitas diri adalah akfititas Ilahi, Ego selalu berusaha
menyisihkan diri ke dalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi
kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia mau menciptakan suatu dunia
ideal yang baru.
Tinggalkan dirimu dan
hijrah kepada Tuhan
Setelah engkau mendapat
kuasa-Nya
Kembalilah lagi kepada
dirimu[11]
Nampaknya
konsepsi Ego dalam pandangan Iqbal murni sebagai bentuk persona yang dalam
jiwanya dituntun penuh oleh aktifitas dari dalam kesadaran profetik, yakni
sebuah konstruksi kehidupan yang terus mengalami proses menuju kesempurnaan dan
dengan menuju tahap kesempurnaan itu
memberikan kemungkinan manusia selanjutnya untuk senantiasa kerja kreatif.
Dengan demikian aspek penting dari filsafat Iqbal adalah konsep
kebebasan nyata bagi Ego atau diri manusia
yang demikian besar sehingga melalui kebebasan ini realitas puncak (ultimate
reality) dibukakan.[12]
[1]
Abdul Wahhab Azzam, op.cit.,, hlm. 142.
[2]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit.,
hlm. 61.
[3] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op.cit., hlm.
207.
[4] Muhammad
Iqbal., Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op. cit., hlm.
209.
[5] Abdul
Wahhab Azzam, op.cit., hlm. 211.
[6]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, op. cit.,
hlm. 9.
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistik
dalam Islam, cet. 4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 32.
[8] Muhammad
Iqbal., Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op. cit., hlm.
332.
[9]
A.E.Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1989), hlm. 134-135.
[10] Muhammad
Iqbal., Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op. cit., hlm. 175
[11] Ibid,
hlm. 331.
[12]
Muhammad Iqbal, Metafisika Persia; Sebuah Sumbangan untuk Sejarah Filsafat
Islam, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 18.
Komentar
Posting Komentar