KARYA SIR MUHAMMAD AQBAL

Muhammad Iqbal adalah penyair Indo-Pakistan terkemuka. Selain menulis dalam bahasa Urdu dan Inggris, Iqbal juga banyak menulis dalam bahasa Persi. Keterlibatannya dalam acara tahunan Anjuman-I himayet-I Islam, sebuah forum solidaritas umat muslim yang diilhami dari gerakan Alighar, sejak tahun 1899, membuat Iqbal mulai banyak menggubah sajak yang biasa dibacakannya pada acara tahunan tersebut. Diantara karya pertamanya adalah nale-yi yatim “Keluhan Anak Yatim” (dibaca pada tahun 1900) dan Yatīm Ka Khatab Hilāl-I ‘Id say “Keluhan Yatim pada Bulan sabit‘I” tahun 1901. Kedua puisi tersebut banyak mendapat perhatian dari masyarakat dan sangat mengesankan.[1]
Di susul kemudian Islamia College Ka Khatab Punjab Kay Musalmanu say “Islamia College kepada Kaum Muslim Punjab” dan Din-o-Dunya “ Agama dan Dunia” (1902). Selain karya-karya dalam bentuk sajak pada tahun 1901, Iqbal juga telah menulis prosa pertamanya dalam bahasa Urdu “’Ilm-I-Iqtishād (ilmu konomi)” sebuah tema baru dengan gaya bahasa Urdu yang lalu dikoreksi oleh Maulana Shibli, seorang sejarawan dan kritikus sastra.[2]
Ada banyak sekali karya-karya Iqbal yang tertulis dalam berbagai bahasa, baik yang berbentuk puisi, prosa, artikel, essai-essai, hasil ceramah maupun berbagai bentuk tulisan yang lain. Sebagaimana yang ditulis oleh ‘Abdul Haleem Hilal, ada sekitar 70 kumpulan tulisan Iqbal yang tersebar dalam berbagai bentuknya. Yakni puisi dalam bahasa Urdu: 5 (lima) buah, puisi dalam bahasa Persia: 8 (delapan) buah. Karya berbentuk prosa dalam Urdu: 1 (satu) buah dan dalam bahasa Inggris: 3 buah. Sementara itu dalam bentuk artikel bahasa Inggris ada 14 buah, dalam bahasa Urdu 10 buah. Essai dan kumpulan ceramah, berbahasa inggris: 3 buah, dan Urdu: 3 buah. Koleksi surat-surat berbahasa Inggris: 5 buah, sedang berbahasa Urdu: 11 buah. Dan koleksi puisi campuran bahasa Urdu-Persia: 7 buah.[3]

Beberapa karya-karya monumental Iqbal antara lain:
  1. Asrār-I-Khudī (Rahasia Pribadi)
Asrār-I-Khudī merupakan kumpulan puisi yang ditulis dengan gaya bahasa dan irama sebagaimana mastnāwī-nya Jalaluddin Rumi. Asrār-I-Khudī di terbitkan di Lahore pada 1915. Karya yang merupakan magnum opus-nya ini adalah kumpulan puisi yang hampir keseluruhannya terdiri dari 150 bait. Di sanalah Iqbal menuangkan percikan-percikan filsafatnya. Kemunculan Asrār-I-Khudī disamping memberikan udara yang baru bagi kepenatan hidup kondisi muslim India saat itu, juga membawa kontroversi yang cukup tajam dikalangan kelompok muslim yang menganut ajaran-ajaran mistik lama. Hal ini terutama konsepsi khudī dianggap telah menyerang konsep Wahdāh al-Wujūd dalam tradisi tasauf.[4]
Dalam Asrār-I-Khudī, Iqbal berpandangan bahwa masyarakat muslim India telah dirusak oleh ajaran panteistik Persia, dan telah melupakan hampir secara keseluruhan ajaran-ajaran murni Islam. Melalui sajak-sajak ini, dia ingin menunjukkan Islam yang sejati, tanpa diselubungi tabir apapun. Ajaran-ajaran penyerahan diri, kepasrahan, dan nostalgia lama harus ditanggalkan, diganti dengan konsep baru tentang Diri. Untuk mencapai kesempurnaan diri, manusia sebagai khalīfah, harus senantiasa memperkuat pribadinya dan bekerjasama dengan pencipta-Nya, sebab menurutnya agama tanpa kekuatan hanyalah merupakan filsafat semata.[5]
Dua tahun setelah diwan ini diterjemahkan oleh Reynold A. Nicholson dari Universitas Cambridge dalam bahasa Inggris, pemerintah Inggris memberi gelar kebangsawanan kepada  Muhammad Iqbal sebagai penghargaan atas kesarjanaan dan bakat puisinya.
       
  1. Rumūz-I-Bekhudī (Misteri Peniadaan Diri)
Filsafat Iqbal dibina pada pribadi. Ia selalu menyerukan untuk memantapkannya, mendiiknya, dan mnguatkannya. Sebagaimana Asrār-I-Khudī, dalam Rumūz-I-Bekhudī, pribadi juga menjadi pilihan gagasan filsafatnya. Sebagai kelanjutan Asrār-I-Khudī, dalam diwan-diwan ini pribadi lebih diarahkan pada konsepsi tentang kelompok, system, kesempurnaannya, dan proses sosialisasi individu di masyarakat.[6]
Rumūz-I-Bekhudī terbitkan di Lahore pada 1918. Sebagaimana dikatakan Iqbal sendiri bahwa diwan ini akan menjadi sumber keheranan dan kegembiraan bagi kaum muslim, sebab filsafat sebuah kebangsaan Islam belum pernah ditawarkan kepada masyarakat muslim dalam bentuk seperti ini.[7]    


  1. Bang-i-Dara (Genta Kafilah)
Diwan ini diterbikan di Lahore pada 1924 dalam bahasa Urdu. Bang-i-Dara merupakan kumpulan sajak-sajak Iqbal semasa mudanya yang digubah sebelum Asrār-I-Khudī maupun Rumuz-i-Bekhudī. Diwan ini sendiri terdiri dari beberapa bagian dan oleh sang penyair diberi tanggal dengan urutan-uturan tahun. Sebagai kumpulan sajak dengan rentang tahun yang cukup panjang, yakni dari 1899 sampai 1924, tema-tema yang diangkat juga mencirikan berbagai kondisi dan perkembangan pemikiran Iqbal. Misalnya pada bagian pertama  memuat sajak-sajak yang telah digubahnya hingga tahun 1905, sajak-sajaknya lebih bernuansa nasionalis, patriois, dan humanis. Semenara pada bagian ketiga yang merupakan gubahan antara 1908-1924, Iqbal mengangkat tema berbagai kemunduran yang menimpa kaum muslimin, juga kemunduran yang terjadi pada Dinasti Usmaniah.[8]

  1. Payam-i-Mashriq (Pesan dari Timur)
Diwan Payam-i-Mashriq terbit pertama kali di Lahore pada 1923 ditulis dalam bahasa Persia. Payam-i-Mashriq marupakan taman sajak dengan beraneka ragam bunga, cahaya, tumbuhan, dan berbagai simbol-simbol yang biasa terdapat dalam bentuk-bentuk gazal. Dalam diwan inilah Iqbal banyak bicara tentang berbagai perkembangan sastra Timur dan Barat.
Kekaguman Iqbal kepada Goethe dan beberapa penyair Barat juga banyak diuraikan dalam diwan ini. Sebagaimana dalam salah satu sajaknya Iqbal menyebut Goethe sebagai “orang arif dari Barat yang terpesona oleh keindahan Persia”. Sebagai sebuah pengantar Iqbal menulis sebuah sejarah singkat gerakan ketimuran dalam sastra Jerman.[9] 
 
  1. Bal-i-Jibrīl (Sayap Malaikat Jibril)
Pada kunjungan keduanya ke Eropa setelah kepulangannya tahun 1908 yakni pada 1931-1932, setelah dari Prancis, Iqbal menyempatkan diri mengunjungi Spanyol—sebuah Negara yang disana Islam pada abad pertengahan memancarkan kegemilangannya. Kenyataan bahwa Spanyol dahulu adalah daerah muslim telah mendorong Iqbal untuk menyebutnya sebagai “ rumah yang mengabadikan darah kaum muslim dan tanah suci Islam”. Kunjungan dan pertemuannya dengan masjid Cordoba-lah yang kemudian menginspirasikan Iqbal menulis Bal-i-Jibrīl.[10]
Bal-i-Jibril terbit pada 1935 dalam bahasa Urdu. Lirik-lirik yang terdapat di dalamnya adalah gubahan do’a saat Iqbal melaksanakan shala di masjid Cordoba, deskripsi panjang tentang masjid Cordoba, tentang Mu’tamīd ibn ‘Ibād, tentang Spanyol dan, Tharīq dalam peperangan, dan juga lirik yang paling terkenal dalam Bal-i-Jibril, yaitu puisi yang berjudul “Lenin di depan Allah”,”Di makam Napoleon”, dan “Mussolini”.[11]
  1. Armughan-i-Hijāz (Karunia dari Hijaz)
Karya ini terbit pada bulan November 1938, beberapa bulan setelah pengarangnya wafat pada 21 April 1938. Armughan-i-Hijāz adalah sebuah volume kecil berisi puisi-puisi berbahasa Persia dan Urdu. Dalam karya ini terdapat beberapa halaman yang sengaja dikosongkan Iqbal dengan maksud akan diisinya sewaku dia berangkat  ke tanah Hijaz untuk menunaikan ibadah haji—cita-cita Iqbal yang sampai akhir  hayatnya tidak terlaksana sebab kondisi fisiknya yang trus menurun.[12]
Sebagaimana pada karya-karya sebelumnya, dalam Armughan-i-Hijāz, penyair juga menyerukan kebangkitan manusia melalui kekuatan pribadi. Selain itu juga berisi kritik atas ketidakadilan dan penindasan. Karya ini lebih banyak bernuansa reflektif dan introspektif atas berbagai keadaan diri penyair yang sudah berada pada puncak kematangan filsafatnya. Dalam Armughan-i-Hijāz ini pula puisi yang memberi kesan perpisahan Iqbal sebelum wafatnya ditulis:
Lagu yang telah lama sirna mungkin akan datang lagi
            Mungkin pula tidak
Desau angin segar dari hijaz akan tiba
            Mungkin pula tidak
Hari-hari diri yang hina ini akan segera berakhir
Dan penyair lain akan datang
            Mungkin pula tidak.[13]

  
  1. Javid Nama (Kitab Keabadian)
Javid Nama adalah sebuah mastnawi yang religius-filosofis, berisikan hampir dua ribu kuplet. Pertama kali diterbitkan di Lahore pada 1932.  Dalam karya ini Iqbal mendemonstrasikan titik tertinggi kekuatan puitiknya melalui gambaran perjalanan spiritual menuju lapis-lapis langit. Disamping merujuk pada keabadian diri, karya ini ditujukan pada putranya Javid. “Pesan untuk Javid” sebagai penutup karya tersebut tampaknya juga ditujukan bagi generasi Islam pada umumnya.[14]
Sajak ini dimulai dengan suatu do’a panjang dan mengharukan dari sang penyair. Saat masih berada di bumi, dia mengeluhkan kepada Tuhan tentang keterasingan manusia, kelenyepan di tengah keluasan alam semesta, terperangkan dalam dimensi ruang dan kesementaraan. Kemudian dilanjutkan dengan prolog dari langit yang mengecam kehidupan bumi yang gelap, penuh kejahatan serta selalu bergantung cahaya dari langit.[15]
Pada selanjutnya dalam “Prolog di bumi” ruh penyair Rumi muncul di hadapan Iqbal, yang nantinya akan menemani sepanjang perjalanannya menuju tahap demi tahap perjalanan spiritualnya. Sebagai yang dia sebutkan dalam nyanyian gazal-nya “ Di balik gunung ruh Rumi muncul dengan menyingkapkan semua tirai ini. Wajahnya yang cemerlang bagai surya, membuatnya agung bagai pemuda.”[16]
      
  1. Zabur-i-Ayam (Wasiat Iran)
Karya yang diterbitkan di Lahore pada 1927 dengan bahasa Persia ini dimaksudkan untuk memberikan suntikan semangat kepada kepada kaum muda dan masyarakat Timur. Ditulis pada saat Iqbal dalam masa produktif menulis sastra dan terlibat aktifitas politik, Zabur-i-Ayam memperlihatkan kepiawaian, kemampuan menggali dan kematangan gaya pengaranya yang dikatakan sebagai wakil karya terbaik dari puisi-puisi persianya.[17]
Mengingat semangatnya menulis karya ini, dalam sebuah sajak-singkatnya  berbahasa urdu, Iqbal  mengetakan:
Jika engkau punya selera
 maka bacalah Zabur-i-Ayam di waktu luangmu
Dalam ratapan malam
 tak ada sesuatu pun yang tersembunyi.[18]
 
     
  1. Musafīr (Sang Musafir)
Musafīr merupakan sajak-sajak yang mengambarkan kesan-kesan Iqbal pada saat melakukan kunjungan ke Afganistan pada 1933. Meskipun dalam sajak-sajak ini kurang mengandung semanga dan gagasan yang segar seperti alam karya-karya sebelumnya. Tapi sebagai catatan perjalanannya ke Afganistan,  sajak-sajak dalam Musafir ini banyak memberikan informasi terutama bagaimana Negara-negara muslim telah menjadi korban perbudakan dari gelombang kolonialisasi Barat.[19]
Musafīr diterbitkan di  Lahore pada 1934 dalam bahasa Persia. Diwan yang berbentuk mastnawi ini diakhiri dengan bait-bait yang berisi pesan kepada raja Zahīr Syah, seorang pura Muhammad Nadīr Syah—raja Afganistan. Dalam perjalanan itu Iqbal sangat terenyuh hingga menimbulkan kepedihan dalam hatinya melihat runtuhnya kejayaan Islam masa lalu. Sebagai luapan kepedihan Iqbal menumpahkan emosinya dalam syair :
Lindungi kami, oh Tuhan
            Dari penghianatan sang waktu, wahai Tuhan
Lindungi kami, oh Tuhan
            Dari siang dan malam, wahai Tuhan.[20]
  

  1. The Development of Metaphysic in Persia (Perkembangan Metafisika Persia)
Karya ini adalah disertasi Iqbal yang diajukan kepada Prof. F. Hommel, pada tanggal 4 November 1907 di Universitas Munich Jerman dan baru diterbitkan di London pada tahun 1908 yang secara khusus dipersembahkan pada Thomas W. Arnold.[21] Dalam buku ini penulis menyajikan garis besar pemikiran metafisika masyarakat Iran, mulai dari Zoroaster, Mani, Mazdak hingga Baha’ullah. Lebih lanjut dalam bagian kedua, disajikan bagaimana pengaruh pemikiran Neoplatonis di Persia, serta diteruskan dengan perkembangan rasionalisme dalam Islam.[22]
Disertasi ini terdiri dari enam bab, yang dimulai dengan pembahasan filsafat Persia pra-Islam pada bab I, bab II tentang pengaruh pemikiran Aristotelian-Neoplatonis di Persia, bab III membahas perkembangan rasionalisme dalam Islam. Sementara pada bab IV mengupas perbedaan pandangan antara idealisme dan realisme, selanjutnya bab V membahas tentang pemikiran dan ajaran-ajaran sufisme. Bab VI sebagai bab penutup, penulis membahas pemikiran terakhir Persia.
Sebagaimana yang disampaikan dalam akhir kesimpulannya, bahwa sikap para pemikir Persia pra-Islam adalah sepenuhnya obyektif, dan karena itu hasil upaya intelektual mereka kurang lebih materialistis. Namun, para pemikir pra-Islam dengan jelas melihat bahwa Prinsip Orisinil harus dipahami secara dinamis. Disimpulkan juga bahwa dikalangan para pemikir belakangan terdapat suatu gerakan melalui neo-Platonisme menuju Platonisme sejati, akan tetapi spekulasi murni dan mistisisme impian mengalami hambatan kuat pada Babisme dengan mensintesiskan semua kecenderungan agama dan filsafat.[23]   

 
  1. The Reconstructions of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam)
Pada Desember 1928 dan Januari 1929, atas undangan Asosiasi Muslim Madras,  Muhammad Iqbal memberikan serangkaian kulian Islam di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Bahan-bahan kuliah ini diterbitkan di Lahore pada 1930 dengan judul Six Lectures on the Reconstructions of Religious Thought in Islam, yang selanjutnya dengan tambahan satu bahan lagi “Adakah Agama Mempunyai Kemungkinan ?” di terbitkan di Oxford pada 1934 dengan judul lebih ringkas: The Reconstructions of Religious Thought in Islam.[24]
Karya yang lebih bernuansa skolastik ini merupakan pemikiran filsafat terbesarnya.[25] Selengkapnya dalam karya yang disebut-sebut menyerupai al-Ihya’ al-Ulum al-Din-nya Imam al-Ghozalī ini, Iqbal mengemukakan tentang tanggung jawabnya dalam memperbarui dasar-dasar intelektual filsafat Islam melalui cara yang sesuai dengan iklim intlektual dan spiritual abad modern. Lebih jelasnya Tema-tema tersebut adalah:1) Pengetahuan dan pengelaman keagamaan; 2) Pembuktian filsafat tentang pengalaman kagamaan; 3) Konsepsi tentang Allah dan makna shalat; 4) Ego insani – kebebasan dan keabadiannya; 5) Jiwa Kebudayaan Islam; 6) Prinsip gerakan dakwah Islam; dan 7) Adakah agama mempunyai kemungkinan ? [26]



[1] Annemarie Schimmel, Op. cit. hlm. 39.

[2] Ibid, hlm. 40.

[3] Abdul Halem Hilal, Social Philosophy of  Muhammad Iqbal (India: Chilti Qabar, 1995), hlm. 288 – 292.

[4] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed), Op. cit, hlm. 36
[5]Abdul Wahhab ‘Azzam, Op. cit. hlm. 45.

[6] Ibid, hlm. 89.

[7] Annemarie Schimmel, Op.cit. hlm. 48
[8] Abdul Wahhab ‘Azzam, Op. cit. hlm. 126
[9] Annemarie Schimmel, Op.cit. hlm. 50.

[10] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed.), Op. cit. hlm. 47.

[11] Abdul Wahhab ‘Azzam, Op. cit. hlm. 131.
[12] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed.), Op. cit. hlm. 163.

[13] Ibid. hlm. 164.
[14] Ibid, hlm. 156.

[15] Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, Op.cit., hlm. XV

[16] Ibid, hlm. 8.
[17] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed.), Op. cit. hlm. 150.

[18] Ibid, hlm. 151.

[19] Ibid, hlm. 49.

[20]Ibid, hlm. 49.

[21] Annemarie Schimmel, Op. cit. hlm. 41.

[22] Muhammad Iqbal, Metafisika Persia; Sebuah Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 37.

[23] Ibid, hlm. 131.

[24] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed.), Op. cit. hlm. 152.

[25] M.M. Sharif, Op. cit. hlm. 26.

[26] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed.), Op. cit. hlm. 154 – 155.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI