KESADARAN MISTIK (MYSTICAL CONSIOUSNESS)
OLEH :
KHILMI ZUHRONI
KHILMI ZUHRONI
Tradisi mistik dalam Islam pertama kali muncul
sebagai respon terhadap
formalisasi ajaran Islam yang terlalu ketat dalam berbagai aturan hukum yang
berlaku. Tradisi ini bermula dari pusat-pusat budaya Iraq dan Persia selama
abad VIII M. Respon yang ternyata melahirkan ketegangan panjang tersebut lalu
memunculkan sufisme sebagai suatu metode
ekstatik untuk merealisasikan spiritualitas Islam.[1]
Metode ekstatik sendiri muncul sebab terpengaruh oleh perasaaan manusia yang
dapat menjalin hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap
sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir umat
manusia, tapi sebagai Sahabat dan Kekasih jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat
untuk mengenal Tuhan, mencintai-Nya, dan menerima wahyu Tuhan melalui
pengetahuan langsung, serta memasuki keintiman dengan-Nya.[2]
Mistisisme Islam dapat dipahami sebagai jalan pengetahuan yang dengannya
unsur cinta terkait sesuai dengan struktur wahyu Islam. Dia memiliki pertalian
yang sangat erat dengan filsafat Islam selama berabad-abad. Persinggungan ini
kadangkala dalam bentuk kritik, negasi atau integrasi paduan keduanya. Khususnya
setelah memasuki abad XV M, para filosof dimasukkan kedalam rumpun spiritual
yang sama dengan para sufi, sebab keduanya mempunyai tujuan bersama ke arah
pencapaian pengetahuan puncak.[3]
Mistik adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan kontemplasi. Kesadaran berada
dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ‘Ittihād bersatu dengan
Tuhan.[4] Pada
umumnya tujuan dari semua kehidupan mistik adalah untuk mencapai penyatuan
dengan Tuhan. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
penyatuan tersebut. Diantaranya adalah; fanā’, waqfāt, dan hulūl (‘Ittihād).
Fanā’ (pembinasaan atau pematian), yakni hilangnya kesadaran terhadap
dunia luar dan kehidupan rohani manuju keabadian diri. Fanā’ juga dapat
disebut sebagai sebuah proses yang bertahap mulai dari meninggaklan diri dari
keinginan-keinginan duniawi, hilangnya secara bertahap kesadaran diri, dan
berakhir dengan keadaan tenggelam total ke dalam perenungan terhadap Tuhan.[5]
Waqfāt berarti berhenti
dari mencari, sedangkan Waqīf adalah mereka yang berhenti dari mencari
kemudian mereka lenyap dalam obyek Yang Dicarinya. Waqfāt juga dapat
diartikan sebagai yang tersinari, yakni ditolaknya kegelapan pemikiran mengenai
yang lain. Ia mengubah nilai-nilai keperistiwaan dari zat yang maujud ke dalam
nyata-Nya dan nilai-nilai abadi yang dimiliki-Nya. Apabila peristiwa waqfāt melenyap
dari kesadarannya, ia akan menjadi sinar. Sehingga pujiannya kepada Tuhan
berasal dari Tuhan, dan pengetahuannya
adalah pengetahuan Tuhan.[6]
Muhyiddin Ibnu ‘Arabī (1165 M - 1240 M ) sendiri
mengartikan fanā’ dalam dua pengertian. Fanā’ dalam pengerian
mistik sebagai "hilangnya" ketidaktahuan dan tinggalnya
pengetahuan sejati (secara intuitif) tentang kesatuan esensial dari Keseluruhan
itu. Sedangkan fanā’ dalam pengertian metafisika adalah hilangnya bentuk-bentuk
dunia fenomena dan berlanjutnya substansi universal yang Satu. Menghilangnya
suatu bentuk adalah fana’-nya bentuk itu pada saat Tuhan
memanifestasikan (Tajallī) dirinya dalam bentuk lain.[7]
Hilangnya diri dalam keadaan pengetahuan intuitif merupakan
aspek pengetahuan mistik yang ditekankan oleh Ibnu ‘Arabī. Menurutnya seorang
mistik sempurna adalah seorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk serta
menyadari kesatuan esensial keduanya dan kemutlakan non-eksistensi dari bentuk
itu.[8]
Tentang pengetahuan mistik ini Muhammad Iqbal berpendapat
bahwa dalam pengetahuan mistik terjadi suatu moment penggabungan yang rapat
sekali dengan pribadi lain Yang Tunggal, Maha Utama, Maha Menyeluruh dan untuk
seketika menekan kepribadian subyek yang mengalami pengalaman itu. Kenyataan
semata mengatakan bahwa keadaan mistik itu pasif sepenuhnya kurang tepat. Sebab
dalam pengetahuan mistik tidak seperti pengetahuan yang dialami melalui proses
pencerapan indrawi, sebagaimana seseorang tidak mengetahui pikiran-pikiran
orang lain kecuali melalui gerakan-gerakan fisik orang tersebut. Dalam mistik
pengetahuan itu merupakan refleksi batin atas wujud lain. Dengan demikian pengetahuan
dalam suasana mistik bukanlah bergerak tanpa
pararel. Karena nilai pengalaman mistik itu secara langsung dialami, maka
jelaslah hal itu tidak dapat dihubungkan sebagaimana pada pengalaman
pengindraan. Suasana mistik lebih bersifat perasaan ketimbang pikiran.[9]
Sementara menurut Syekh Ahmad al-‘Alawī,
mistik yang pada dasarnya merupakan terjemahan dari istilah shūfi adalah
cara Islami untuk mengangkat jiwa, yaitu "melepaskan ruh naik mengungguli
diri", dan merupakan tempat berakhirnya kemanusiaan dan bermulanya
rahasia-rahasia langit. Sedangkan segi dari pengetahuan ini mencerminkan
perlambangan cahaya yang banyak terdapat dalam al-Qu’an, yang melaluinya
pembacanya dapat merasakan rahasia-rahasia akhirat.[10]
A.J. Arberry memandang bahwa mistis
sebagai satu upaya pengabdian hidup manusia untuk mencari persatuan dengan sang
Pencipta. Seorang sufi adalah seorang muslim yang mengabdikan hidupnya untuk
mencari persatuan mistik, yakni sebuah reuni mistik dengan sang pencipta. Sebagai
bentuk reuni mistik, maka segala upaya yang dijalankan dalam hidupnya
semata-mata untuk sampai pada puncak persatuan tersebut. [11]
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang sufi dari Basrah, Haris
bin As’ad al-Muhāsibī (w. 857 M), bahwa :
Seorang sufi tidak lagi
memandang dunia dan seluruh isinya, tidak memikirkan dirinya sendiri, karena
Tuhan adalah satu-satunya obyek perenungannya. Dengan hanya cukup baginya Tuhan
Yang Maha Tinggi dan kehidupan di dalam-Nya, telah memalingkan dari semua yang
lain.[12]
Sedangkan Reynold A. Nicholson, melihat
sufisme—mistik dalam Islam—merupakan bagian dari filsafat Islam, telah
dirumuskan secara mendalam sebagai pemahaman mengenai kenyataan Ilahi.
Pemahaman ini dimulai dengan kesadaran yang luar biasa untuk menghindari dosa,
bercampur rasa takut tarhadap kiamat dan siksa neraka, sehingga akhirnya
terdorong untuk mencari penyelamatan sejak kehidupan di dunia dengan cara
menjauhi kenikmatan duniawi, hidup dalam kesederhanaan dan kepasrahan secara
total terhadap kehendak Ilahi. [13]
Dalam
perkembangannya, sufisme bukan lagi berhenti pada menjauhi kenikmatan duniawi,
melainkan mereka memandang asketisme sebagai tahap permulaan dari perjalanan
panjang, yang merupakan latihan awal untuk mencapai kehidupan rohani yang lebih
tinggi, yakni tahapan bersatu dengan Tuhan.
Keadaan bersatu merupakan puncak dari proses
penyederhanaan, dimana jiwa secara bertahap diisolasi dari hal-hal yang asing
dari dirinya sendiri, kecuali terhadap Tuhan. Tidak seperi nirwana, yang
semata-mata dianggap sebagai penghentian individualitas, maka fanā’ dalam sufi
dianggap sebagai kelenyapan, yaitu proses menuju keabadian (Baqa’) dan
kesinambungan yang nyata. Penuhanan (Defication), pada dasarnya
merupakan tujuan akhir dari mistik muslim.[14]
Berbeda
dengan pemahaman terhadap konsep fanā’ sebagaimana di atas, Hujwirī (w.
1079 M), menganggap absurd terhadap kepercayaan bahwa fanā’ berarti
kehilangan esensi dan perusakan zat jasmaniah. Fanā’ terhadap sesuatu,
menurutnya, berarti adanya kesadaran akan ketidaksempurnaan dan ketiadaan
keinginan untuk sesuatu hal. Siapa yang mengalami suatu fanā’ dalam
dirinya yang rapuh akan menemukan baqā’ di dalam kehendak-Nya yang
abadi, namun sifat manusia tidak bisa meng-Ilahi atau sebaliknya. Hujwiri
merumuskan bersatu sebagai pemusatan pikiran terhadap obyek yang diinginkan. [15]
Dalam tahap
persatuan itu, lebih lanjut Muhammad Iqbal memandang adanya suasana ketentraman pada saat
mistikus telah sampai pada pengalaman tunggal tersebut. Sehingga munculnya rasa
tidak ingin kembali dari pengalaman tersebut. Tentramnya "pengalaman
tunggal" bagi dunia tasawuf ialah suatu kesudahan. Sebagai suatu
kesudahan, pandangan tentang alam semesta dalam filsafat kesatuan tersebut juga
telah mencapai kesempurnaan.
The mystic does not wish to return from the repose
of ‘unitary experience’; and even when he does return, as he must, his return
does not mean much for mankind at large.[16]
(Mistik tidak ada keinginan untuk kembali dari
suasana ketentraman ‘pengalaman tunggal’; dan bahkan ketika dia kembali,
sebagaimana seharusnya, kembalinya tidak akan memberikan arti yang luas besar
bagi umat manusia)
Bagaimanapun,
persoalan bersatu dengan Tuhan—sebagai sebuah pengalaman mistik—manurut Iqbal,
erat kaitannya dengan alam asali tentang tidak riilnya kesinambungan waktu,
sehingga dipandang dari segi keunikannya yang dalam beberapa hal tetap
berkaitan dengan pengalaman biasa, jelas tidak akan berlangsung selamanya.
Dalam arti bahwa pengalaman itu akan kembali pada tingkat pengalaman normal.
Dari kembalinya pengalaman mistik ke dalam pengalaman normal, persoalan yang
harus dikaji labih jauh adalah bagaimana kesinambungan pengalaman itu terhadap
perkembangan pribadi.
[1]
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1984), hlm. Xxii.
[2]
Margaret Smith, Mistikus Islam; Ujaran dan Karya-karyanya, terj. Ribut
Wahyudi (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. Vii.
[3]
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op.cit. hlm. 459.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistik
dalam Islam, cet,4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 56.
[5] A.
E. Afifi, Op. cit. hlm. 187 - 188
[6] Reynold A. Nicholson, Mistik
dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta : Bumi Aksara, 1998),
hlm. 118.
[7] Ibid,
hlm. 192.
[8] Ibid,
hlm. 193.
[9] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jogjakarta:
Jalasutra, 2002), hlm. 50-51.
[10]
Martin Lings, Syaikh Ahmad Al-‘Alawi; Wali Sufi abad 20, terj. Abdul
hadi W.M. (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 32 – 42.
[11] A.J Arberry, Fariduddin al-Attar ;
Warisan Para Awliya, terj. Anas Mahyudin, (Bandung : Penerbit Pustaka,
1983), hlm. 1- 2.
[12]
Margaret Smith, Op. cit. hlm. 18.
[14] Ibid,
hlm.113.
[15] Ibid,
hlm. 120.
[16]
Muhammad Iqbal, The The Reconstruction Of Religious Thought In Islam
(London: Oxford University Press, 1934), hlm. 118.
Komentar
Posting Komentar