HUBUNGAN PRIBADI DAN MASYARAKAT DALAM RELASI EGO
Oleh : Khilmi Zuhroni
Islam
adalah ajaran yang mengedepankan aspek-aspek sosial demi tercapainya
kesempurnaan individu.[1]
Di mata Islam, beriman kepada Allah haruslah punya implikasi pada kehidupan kolektif
umat manusia berupa terwujudnya prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama.[2]
Filsafat Iqbal bermuara pada pribadi/Ego atau Khudi.
Dia menyerukan untuk memantapkannya, mendidiknya, dan menguatkannya,
sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan diatas. Namun demikian
eksistensi pribadi dapat menjadi hilang tatkala kekuatan pribadi ini tidak
dipadukan dengan kekuatan pribadi yang lain dalam masyarakat dimana ia
hidup.
Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu-individu.
Namun tidak sebagai kumpulan yang saling terpisah, akan tetapi merupakan satu
kesatuan secara keseluruhan. Dalam keseluruhan itu bagian yang lain tidak
dapat hidup dan berkembang tanpa
sebagian yang lain. Masyarakat adalah ibarat organ tubuh yang masing-masing
bagiannya memiliki peran yang sangat signifikan dalam tumbuh dan berkembang
bersama. Tanpa adanya individu-individu yang sadar akan peran sosialnya masing-masing
keberlangsungan hidup masyarakat akan mengalami goncangan negatif dan
disharmoni.[3]
Sebagai bagian dari masyarakat, setiap individu memiliki peran masing-masing
yang penting dalam mempengaruhi keberlangsungan hidup sebuah masyarakat.
Individu yang pasif akan menjadikan perjalanan sebuah masyarakat menjadi pasif,
sementara individu yang aktif akan memberikan dampak kemajuan masyarakat yang
aktif pula.
Dalam banyak karyanya, terutama dalam Asrār-I-Khudī
dan Rumuz-I-Bekhudi, Muhammad Iqbal memberikan penjelasan yang mendalam
betapa pentingnya hubungan pribadi sebagai individu dalam masyarakat.
Dijelaskannya bahwa secara alamiah kehidupan manusia sebagai individu sangat
bergantung pada masyarakat sebagai komunitas sosial, semenjak dari kelahirannya
sampai kematianya keliang lahat. Iqbal menggambarkan hubungan yang sangat erat
ini sebagai satu kesatuan hidup yang tidak dapat dipisahkan. Pribadi yang hanya
berkutat dalam kesendiriannya adalah lemah dan tidak memiliki kekuatan. Bahkan
menurutnya eksistensi individu ditentukan peran, aktifitas dan hubungannya
dengan masyarakat, dia mengibaratkan individu yang diam dalam kesendirian
sebagai mana tidak berartinya gelombang tanpa samudra.[4]
Dalam Rumuz-i-Bekhudi yang merupakan
penyempuraan dari karya dahulunya Asrār-I-Khudī, Iqbal memberikan
penekanan yang lebih jelas akan pentingnya hubungan individu dengan masyarakat.
Dikemukakan bahwa:
Apabila individu bersatu dalam kelompok
Bagaikan setetes air menjadi Khizr
Terhimpun dalam pikirannya masa lalu
Dan padanya terjalin masa lalu dan masa kini…
Ia dalam kelompok adalah hati yang menggebu
Dalam ummatnya ia adalah usaha yang mendatangkan semangat
Hasrat, rahasia dan kejelasan tubuhnya adalah bagian dari bangsanya[5]
Semangat ini mengambarkan betapa Iqbal sangat
menekankan arti pentingnya hubungan sosial yang terjalin antar individu. Sebab
jika kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu tidak saling terkait,
maka usaha untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang baik sebagaimana yang
tersirat dalam tugas ke-khalīfah-an manusia, akan banyak mengalami
konflik individu yang berakibat rusaknya tatanan sosial. Seperti dinyatakan
juga dalam karyanya Javid Namah, bahwa merupakan suatu dosa tatkala diri
menyaksikan kebesaran Tuhan dalam kesendirian. Katanya “Aku tidak ingin
sendirian menyaksikan Keagungan Ilahi, suatu dosa menyaksikan keindahan-Nya
tanpa kawan. Kebersamaan adalah penyaksian, kesendirian adalah pencarian”.[6]
Selanjutnya bahwa:
Cinta dalam
kesendirian, bagai lawan bicara Tuhan. Tetapi namakala cinta menampakkan diri
secara terbuka, ia bagaikan raja. Kesendirian dan keterlibatan dalam dunia
adalah penjelmaan sepenuh rindu yang membakar dan
gairah yang menyala; keduanya adalah hāl dan maqām dalam hasrat
akan Tuhan.[7]
Keterlibatan pribadi secara terbuka dalam masyarakat
inilah yang menjadikan pribadi semakin sempurna. Namun demikian keterlibatan
ini harus dimasudkan untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal.
Untuk membentuk suatu umat yang besar dan berkeadilan, menurutnya ada dua asas
yang harus diterapkan, yakni; asas tauhīd dan asas risālah. Asas tauhīd
merupakan esensi yang sangat mendasar dalam Islam. Tauhīd menghimpun,
sebuah tatanan masyarakat yang religius, anti-ras, tidak memandang wilayah,
derajat materi, keturunan, dan mengedepankan persatuan yang didasarkan pada
kesejahteraan, persamaan, dan persaudaraan bersama dalam satu naungan prinsip
tauhid. Esensi tauhīd sebagai pikiran yang bekerja ialah persamaan,
persaudaraan, dan kemerdekaan. Islam sebagai suatu lembaga merupakan suatu cara
praktis yang akan membuat prinsip itu sebagai faktor yang hidup dalam pikiran
dan perasaan manusia. Islam menetapkan kesetiaan itu kepada Tuhan, bukan kepada
turunan darah atau mahkota. Dan selama Tuhan itu yang menjadi dasar ruhaniah
terakhir dalam segala hidup, maka kesetiaan kepada Tuhan itu hakekatnya berarti
kesetiaan manusia kepada cita-citanya sendiri.[8]
Sedangkan asas risālah adalah sebuah kesadaran
historis yang didasarkan pada semangat perubahan dan pembaharuan yang diserukan
oleh nabi-nabi yang diutus untuk menuntun ummat manusia. Dengan risalah itulah
keanekaragaman yang ada dipadukan dan diarahkan.
Sebagaimana dalam syairnya:
Sang utusan telah menunjukkan kita pada jalam kebenaran
Sedang kita hanya terbuai dalam kesibukan…
Dengan syari’at-Nya, Allah menjadikannya sebagai penutup
Dan pada kita sang utusan diutus[9]
Sikap pembaharuan inilah yang menjadikan
individu-individu dalam masyarakat senantiasa berpikir kreatif dalam melakukan
pembaharuan sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Prinsip risalah adalah konsepsi hidup yang didasarkan pada alur dinamisme
semesta. Sebagai suatu gerakan kebudayaan, Islam menolak pandangan kolot yang
statis tentang alam semesta, dan lebih mendukung pandangan yang dinamis. Secara
naluriah semua ciptaan akan tumbuh dan berkembang menjulur keatas. Tumbuhan
menjulurkan daun lembaganya keatas untuk mendapatkan cahaya. Manusia normal
mengalami pertumbuhan tubuhnya kian tinggi keatas. Mereka mensyiratkan adanya
sesuatu keinginan untuk lebih berkembang, tambah maju dan semakin mendekati
Sang Pencipta. Isyarat untuk selalu
tumbuh berkembang keatas mendekati cahaya yang digambarkan sebagai manifestasi
Tuhan, itulah yang disebut oleh Iqbal sebagai prinsip risālah. [10]
Konsepsi masyarakat yang dibangun berdasarkan dua asas
diatas, menjadikan kemerdekaan pribadi kreatif yang hidup didalamnya terjaga,
sementara bangunan sosial masyarakat sebagai kumpulan dari individu tersebut
berjalan sepenuhnya dalam prinsip kesamaan, persaudaraan dan persatuan. ada semangat
transendensi yang mengalir mengikuti arus perkembangan pemikiran dan budaya
masyarakat, demikian juga kehidupan sosial masyarakat tidak stagnan dalam
duaian mitos dan kebesaran masa lalunya. Hukum-hukum berkembang mengikuti
kebutuhan zaman, sedang agama selalu menjadi spirit tumbuhnya jiwa-jiwa kreatif
yang baru. Materi adalah ruhaniah dalam pengertian ruang dan waktu. Perpaduan
manusia berarti badan jika dilihat sebagai perbuatan yang berhubungan dengan
apa yang kita sebut dengan pandangan luar; dan berarti pikiran dan jiwa kalau
kita melihatnya sebagai perbuatan. Prinsip hidup yang demikian itu mendapatkan
jalannya dalam sifat-sifat material dan sekular. Tidak ada dikotomi antara yang
transenden dan yang profan, sebab semuanya berjalan dalam aras ruhaniah, hingga
semuanya menjadi daerah yang suci.[11]
As the prophet
so beautifully put is: “The whole of this earth is a mosque.” The state
according to Islam is only an effort to realize the spiritual in a human
organization. But in this sense all state, not based on mere domination and
aiming at the realization of ideal principles, is theocratic.[12]
(Seperti
dinyatakan nabi dalam sebuah ucapannya yang indah “Seluruh bumi ini adalah
masjid”. Menurut Islam, Negara hanyalah satu usaha untuk dapat menciptakan
nilai ruhaniah dalam kesatuan manusia. Tetapi dalam pengertian Negara ini,
tidak didasarkan pada kekuasaan, namun lebih bertujuan untuk merealisasikan
prinsip-prinsip ideal, yakni system teokrasi).
[1] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op.cit., hlm. 24.
[2]
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 74
[3]
Abdul haleem Hilal, Social Philosophy of Sir Muhammad Iqbal (Delhi,
India: Chitli Qabar, 1995), hlm.117.
[4] Ibid,
hlm. 118.
[5]
Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’ Usman
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 91.
[6]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian,Op.cit,. hlm. 25.
[7] Ibid,
hlm. 25.
[8]
Abdul Wahhab Azzam op.cit., hlm. 92.
[9] Ibid,
hlm. 93.
[10]
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op.cit., hlm.
206.
[11]Ibid,
hlm. 247.
[12]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit.,
hlm. 147
Komentar
Posting Komentar