BIOGRAFI SIR MUHAMMAD IQBAL

Oleh : Khilmi Zuhroni
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot India pada 9 November 1877, dan wafat di Lahore tanggal 21 April 1938 pada dini hari. Ia dilahirkan dari keturunan Brahmin yang hidup di lembah Kasmir, namun oleh karena adanya perseteruan antara kaum Dogra yang beragama Hindu dengan penduduk Kasmir yang sebagian telah memeluk agama Islam, usai persetujuan perjanjian Amritsar yang membarikan kekuasaan daerah Kasmir pada kaum Dogra, mereka segera melakukan pengusiran dan kekejaman tanpa batas terhadap rakyat Kasmir. Akibat dari kekejaman itu banyak keluarga kasmir yang pindah ke Punjab. Kakek Iqbal, Syaikh Rafīq, yang juga mengalami kekejaman kaum Dogra beberapa saat setelah tahun 1857 juga ikut serta gelombang pengungsian meninggalkan tanah kelahirannya Kasmir.  Untuk memulai hidup di daerah barunya mereka kemudian menetap di Sialkot.[1]
Ayah Iqbal sendiri bernama Syaikh Nur Muhammad, adalah seorang pekerja urban di Punjab. Dia tidak hanya dikaruniai kecerdasan dan keluasan pengetahuan ilmiah, namun juga tergolong orang yang memiliki kesalehan dan perasaan mistik yang sangat mendalam. Sementara ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga seorang yang sangat religius, anak dari sebuah keluarga pekerja biasa-biasa juga. Bagi keluarga mereka—dalam kondisi kemiskinan seperti itu—kelahiran  Iqbal merupakan suatu anugrah yang tak terhingga, hal ini mengingat, menjelang kelahiran Iqbal ayahnya bermimpi melihat burung dara putih cemerlang sedang terbang lalu hinggap dan tinggal di kamarnya yang kemudian diinterprtasikan bahwa ia akan dikaruniai seorang putra yang terkenal.[2]     
Dengan latar belakang kedua orang tuanya  yang kental dengan suasana keagamaan itulah, Muhammad Iqbal bersama ke-empat saudaranya mendapatkan pendidikan keagamaan sejak kecil. Dari pendidikan keagamaan yang didapat dari orang tuanya, Iqbal kemudian mendapat bimbingan pendidikan yang lebih serius dari gurunya Sayyid Mir Hasān. Dari gurunya inilah pengetahuan Iqbal muda mengalami kemajuan yang sangat pesat hingga ketertarikannya pada sastra Persia dan berbagai persoalan keagamaan.[3]
 Sejak saat itu, hingga selesai belajar di Scottish Mission School (sebuah sekolah yang didirikan oleh para misionaris gereja Skotlandia pada tahun 1889, di Sialkot) di bawah bimbingan gurunya Mir Hasān, Iqbal juga belajar bahasa Arab, Persia, dan belajar menggubah sajak-sajak dalam bahasa urdu. Terutama dalam tradisi menggubah sajak itulah Iqbal mulai menggali kreatifitasnya hingga akhirnya sanggup menghasilkan sajak-sajak yang brilian.
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot pada tahun 1895, dan menikah dengan Karim Bibi, Iqbal melanjutkan studinya di Gonernment College, sebuah lembaga pendidikan tinggi terbaik yang bertempat di Lahore. Perkawinannya dengan Karim Bibi  tidak berjalan secara harmonis sebab syarat dengan nuansa paksaan keluarganya. Walaupun tidak membawa kebahagiaan, pasangan itu dikaruniai tiga orang anak; Mi’raj Begum (lahir pada 1895, dan meninggal pada 1914), Aftal Iqbal ( lahir pada 1899), dan anak ketiganya lahir dan meninggal pada 1901. Oleh karena kehidupan perkawinan yang demikian pada tahun 1909 Iqbal menikah untuk kedua kalinya dengan Sardar Begum yang dikaruniai dua orang anak, Javid Iqbal (lahir pada 1924), dan Munirah (lahir pada 1930).
Di Gonernment College, Iqbal mengambil subyek pelajaran sastra, filsafat Arab dan Inggris. Pertemuan yang tak terlupakan pada saat belajar di Lahore adalah pertemuannya dengan seorang ilmuan terkenal Sir Thomas Arnold, hal ini diakui sendiri oleh Iqbal, dalam beberapa sajaknya. Sebab dari dialah Iqbal mulai mengenal dan belajar sejarah dan filsafat Islam. Bahkan kemudian usai lulus dengan predikat cum laude pada tahun 1899, Iqbal tetap dalam bimbingan Arnold untuk menyelesaikan program masternya.[4]
Kekaguman Iqbal pada Thomas Arnold terutama adalah bahwa pada diri Arnold, Iqbal menemukan paduan harmonis antara filsafat Barat dan pengrtian yang mendalam tentang filsafat dan sejarah Timur. Dari Arnold Iqbal mulai dikenalkan dengan banyak pemikir saat itu, dan atas dorongannya, pada tahun 1905 Iqbal mulai hijrah ke Eropa untuk mendalami berbagai bidang keilmuan dan melanjutkan studinya.
Di Inggris, ia masuk Universitas Cambridge untuk belajar filsafat. Dibawah bimbingan Mc.Taggart, ia memperoleh gelar dalam bidang filsafat moral. Dari London, pada tahun 1908 Iqbal berangkat ke Jerman, untuk belajar belajar bahasa Jerman dan masuk di Universitas Munich. Di Universitas Munich inilah Iqbal mendapat gelar doctor untuk disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia, sebuah buku filsafat yang merupakan manifestasi dari keluasan pemahamannya dalam bidang filsafat. Dari Jerman Iqbal kembali London untuk mempelajari hukum, yang menjadikan Iqbal menguasai bidang keadvokatan.
Selama di Eropa, Iqbal banyak melakukan diskusi dan persinggungan dengan para pakar filsafat dan sejarah di sana. Pertemuannya dengan Mc Taggart, termasuk yang banyak memberikan perkembangan pemikiran Iqbal. Dari dialah, Iqbal banyak belajar tentang Rumi dan memulai filsafatnya yang lebih serius tentang keabadian pribadi. Selain Mc Taggart, Iqbal juga banyak bersinggungan dengan James Ward, serta mulai mendalami filsafat eksistensialisme yang banyak berkembang di Jerman pada saat itu, seperti karya-karya Nietzsche, Mc Dougal, Stefan George, Herbert Spencer dan Bergson.[5]                 
Kekaguman Iqbal terhadap ilmu pengetahuan Eropa, menjadikan dirinya menemukan gairah baru untuk selalu belajar dan selalu menggali hikmah yang terkandung dalam karya-karya filsafat Eropa. Filsafat vitalisme yang tengah berkembang  di Barat saat itu banyak mempengaruhi pemikiran Iqbal terutama gagasannya tentang manusia sempurna. Dalam sebuah sajaknya Iqbal menyampaikan bahwa ::
Ajaran para Filosof Barat
Telah memperkuat sendi-sendi hikmahku
Persahabatan dengan ahli Makrifat
Membuat nyala hidupku terang benderang. [6]

Hal senada juga dikatakan oleh Wilfred C. Smith, bahwa ada tiga hal yang memberi kesan mendalam pada Iqbal tentang Eropa, yaitu: vitalitas dan dinamisme khidupan orang-orang Eropa, kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas sekali bagi manusia, dan pengaruh yang mengancam harkat manusia yang dimiliki masyarakat kapitalis atas jiwa-jiwa orang Eropa.[7]    
Sekalipun kekaguman Iqbal sangat besar terhadap kemajuan dan perkembangan pemikiran di Eropa, bukan berarti dia tidak memberikan kritik sama sekali. Dalam tulisan prosa-prosanya juga di banyak sajaknya, Iqbal menganggap kemajuan Eropa yang begitu pesat, ternyata telah meninggalkan nilai-nilai spiritual agama yang sebetulnya menjadi kontrol dan arah bagi kemajuan manusia. Tanpa agama, kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan membuat manusia menjadi buta terhadap realitas, saling bunuh dan eksploitatif. Menurutnya:
Manusia adalah pedang, Tuhan pemain Pedang tersebut, sedang dunia adalah batu tempat mengasah pedang itu. …Barat telah menembusi batu asah tadi tanpa mau menyadari Tuhan yang menggenggam pedang. Buka mata lebar-lebar kepada Tuhan, itulah agama. Melihat diri sendiri tanpa hijab itulah hidup. Manakala makhluk berhasil mengadakan perubahan dalam hidup, Tuhan sendiri memberkatinya. Mereka yang tak acuh terhadap takdirnya, maka debu dirinya sendiri akan melecehkan nyala jiwanya.[8]

Dikatakan juga bahwa Eropa yang didominasi oleh paham kapitalisme, telah manjadikan perkembangan ilmu pengetahuan mereka menjadi pemangsa diantara sesamanya. Mata mereka melihat, namun hati mereka mati:
Nyala Eropa mulai meredup, mata mereka tetap jernih melihat, namun sayang hati mereka telah mati. Mereka luka oleh oleh senjata mereka sendiri, separuh badannya lumpuh, mereka menjadi mangsa diri mereka sendiri…[9]  

Kekaguman atas kemajuan Eropa juga bukan berarti semua cara berpikir dan kehidupan menganut sepenuhnya tanpa krtitik terhadap Eropa. Iqbal memandang bahwa budaya Timur dan terutama Islam memiliki corak kebudayaan tersendiri. Agama bukan sesuatu yang klasik dan anti kemajuan. Akan tetapi justeru agama memiliki semangat untuk terus melakukan koreksi atas budaya-budaya sebelumnya, agama adalah anti klasik, mengedepankan pandangan kehidupan masa depan dan selalu memberikan jalan lain pada saat sebuah kebudayaan mengalami masa kemandegan. Menurut Iqbal, soal penting yang pertama yang harus dicatat mengenai jiwa kebudayaan Islam ialah bahwa jiwa kebudayaan Islam adalah untuk tujuan ilmu, diarahkan pada yang konkret. Sebab hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkretlah yang akan memberi kemungkinan kecerdasan manusia untuk melampui yang konkret tersebut. [10]    
Setelah banyak menyerap ilmu pengetahuan Eropa, tahun 1908 Iqbal kembali ke India. Mulai tahun-tahun inilah sampai menjelang wafatnya, Iqbal banyak menghasilkan karya-karya terbaiknya, baik dalam tulisan singkat, prosa-prosa, sajak-sajak, maupun tanggapan berbagai isu politik dan sebagainya. Kiprah Iqbal semakin besar di India adalah terutama dengan keterlibatannya pada berbagai aktifitas mengajar dan ceramah di berbagai forum dan tempat di India. Disamping sebagai advokat, dia juga memberikan kuliah-kuliah di Government College pada bidang studi filsafat, sastra Arab dan sastra Inggris.
Pada 1923 dia mulai diundang untuk memberikan ceramah di Liga Muslim. Dan sejak itu dia banyak terlibat secara langsung dengan Liga Muslim, sebagai poros kekuatan kelompok muslim ditengah kolonialisasi Inggris, hingga mengantar dirinya sebagai tokoh yang memiliki peran sentral dalam pembentukan Negara Pakistan.
Aktivitas Iqbal yang sangat padat dalam berbagai bidang—terutama di poros kekuatan Lima Muslim—dengan  tetap menghasilkan karya-karya pemikiran dan sajak-sajak, manjadikan nama Iqbal banyak dikenal dan dikagumi baik oleh pejuang muslim Pakistan maupun para penyair India. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Muhammad ‘Ali Jinnah pada saat perayaan ulang tahun meninggalnya Iqbal pada tahun 1940: “Ia, bagiku adalah seorang karib, tokoh dan filosof. Pada saat-saat yang paling sulit yang kualami di Liga Muslim, ia bagaikan batu karang. Sekejappun ia tidak pernah tergoyahkan”.[11] 



[1] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi (Ed), Sisi Manusiawi Iqbāl (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 17 – 18.
 
[2] Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’ Usman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 15-16.
[3] Annemarie Schimmel, Sayap Jibril Gagasan Religius  Muhammad Iqbal, terj. Shohifullah (Jogjakarta: Lazuardi, 2003), hlm. 39.

[4] Nurul Agustina dan Ihsan Ali Fauzi, Op. cit, hlm. 26
[5] M.M. Sharif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 31 – 32.

[6] Sayyid Ali Khamene’i, ”Iqbal, Filsuf-Penyair Kebangkitan Dunia Islam, ULUMUL QUR’AN, No.3 Vol I/1989, hlm. 77.

[7] Madjid Fakhry, Op. cit. hlm. 478
[8] Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, terj. Mohammad Sadikin (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 17.

[9]Ibid, hlm. 32.
[10] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jogjakarta: Jalasutra, 2002), hlm. 213-214. Lihat juga Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (London: Oxford University Press, 1934), hlm. 124-125.


[11] Abdul Wahhab ‘Azzam, op.cit., hlm. 42.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI