FILSAFAT EGO DALAM SYAIR-SYAIR IQBAL

Oleh : Khilmi Zuhroni

Renungkanlah sejenak hakekat manusia ini…
Ia masih masih bergelimang lumpur,
tapi suatu masa kelak akan sempurna
Demikian sempurnanya makhluk yang tampak tanpa keistimewaan ini
Sehingga suatu masa nanti,
Tuhan sendiripun cemburu kepadanya..[1]

Dalam sepucuk suratnya yang disampaikan pada penyair besar Akbar Allahabadi, Iqbal memberikan penjelasan tentang terbitnya Asrār-I-Khudī, bahwa ; Agama tanpa kekuatan adalah filsafat murni. Hal inilah yang telah mendorongnya menulis Asrār-I-Khudī, sebuah persoalan yang telah dia pikirkan selama hampir sepuluh tahun sebelum karya tersebut. Surat itu disampaikan Iqbal tatkala dengan terbitnya puisi Asrār-I-Khudī, banyak terjadi perdebatan diantara berbagai kelompok Islam, terutama bahwa konsep dan sekaligus kritik Iqbal tentang pribadi/Khudi/Ego dianggap menyerang konsepsi Wahdāh al-Wujūd.[2]
Al-Qur'ān dengan cara yang sederhana dan penuh daya menekankan individualitas dan keunikan manusia, menurut Iqbal, memiliki tinjauan yang pasti mengenai takdir manusia sebagai kesatuan kehidupan. Terkait keunikan manusia ini, dalam al-Qur'ān disampaikan dengan jelas, bahwa: manusia adalah pilihan Tuhan (Q.S; 20:122); manusia dengan kesalahan-kesalahannya, dimaksudkan menjadi wakil Tuhan di bumi (Q.S; 2:30); dan bahwa manusia adalah kepercayaan suatu pribadi yang merdeka, yang menerima dengan menginsafi setiap resiko yang akan ditanggungnya (Q.S; 33:72).[3]
Dengan pemaparan al-Qur'ān yang begitu jelas, Iqbal memandang adanya keharusan untuk memperhatikan secara serius kesatuan kesadaran manusia yang membentuk pusat kepribadian yang dalam sejarah pemikiran Islam kurang mendapat tempat pembahasan. Sebagaimana Bradley, Muhammad Iqbal juga menggunakan istilah Ego untuk menyebut kesatuan kesadaran tersebut. Namun berbeda dengan Bredley yang mengganggap Ego sebagai ilusi belaka karena di dalamnya terkandung berbagai kontradiksi dan kekacauan, Iqbal justeru melihat Ego sebagai kesatuan dari keadaan-keadaan mental. Keadaan mental yang saling terjalin, saling menguatkan, memberi makna, dan tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu isolasi satu sama lain.[4]
The Ego reveals itself as a unity of what we call mental states. Mental states do not exist in mutual isolation. They mean and involve one another. They exist as phases of a complex whole, called mind.[5]

(Ego menyatakan dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan dari yang kita sebut keadaan mental. Keadaan mental itu tidak berdiri dalam hubungan saling membatasi. Mereka saling mengkait satu sama lain. Mereka ada sebagai fase-fase yang komplek secara keseluruhan, yang dinamakan ide)



Dalam muqaddimah karyanya Asrār-I-Khudī, dia menulis bahwa:
…kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia ini, merupakan hal yang diliputi rahasia dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia. Hal inilah yang disebut dengan Khudi atau Min.[6]

Karakteristik lain dari Ego adalah kesendiriannya yang esensial, yang menunjukkan setiap keunikan Ego. Bahkan oleh sebab sifat keunikan ini, Tuhan-pun tidak dapat merasakannya. Maka, pengalaman kesadaran ditentukan oleh keadaan-keadaan mental saat terjadi hubungan antara kualitas-kualitas dengan substansi kualitasnya. Sejalan dengan William James, Iqbal menganggap bahwa pengalaman-pengalaman itu saling memiliki kaitan hingga mereka saling tangkap antara satu dengan yang lain dalam arus kehidupan mental. [7]
The ego consists of the feelings of personal life, and is, as such, part of the system of thought. Every pulse of thought, present or perishing, is an indivisible unity which knows and recollects. The appropriation of the passing pulse by the present of thought, and that of the present by its successor, is the ego.[8]

(Ego terdiri dari perasaan-perasaan kehidupan pribadi, dan merupakan bagian dari sistem pikiran. Setiap denyut pikitan, saat ini atau masa lalu, adalah kesatuan tak terpisahkan yang mengetahui dan mengingat. Pergeseran pikiran dari masa lalu ke masa kini, demikian pula pergantian dari masa kini ke masa lalu, itulah yang disebut ego).

   
Selanjutnya, dalam perkembangannya Ego mendapat/memberi kepemimpinan dan dibentuk/membentuk melalui pengalamannya sendiri. Dari situlah awal terbentuknya sebuah kepribadian sejati, yakni bukan sebagai sebuah benda yang statis, tapi suatu tindakan yang dinamis. Bagaimana Ego dapat memimpin dan mengarahkan sangat tergantung bagaimana pengalaman-pengalaman itu membentuknya. Pengalaman sendiri hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, yang satu sama lain saling berkesinambungan, yang seluruhnya diikat oleh tujuan. Disini Iqbal berpendapat bahwa eksistensi pribadi ditentukan oleh sikap, kemauan, maksud-maksud dan cita-citanya. Ia tidak dapat dilihat sebagai suatu benda dalam ruang, atau sebagai deretan pengalaman dalam rentang waktu, tetapi ia harus ditafsirkan, dipertimbangkan, dipahami dan dihargai dari sikap, kemauan dan tindakannya tersebut. 
My experience is only a series of acts, mutually referring to one another, and held together by the unity of directive purpose. My whole reality lies in my directive attitude.[9]

(Pengalamanku hanyalah suatu deretan tindakan-tindakan, satu sama lain saling berhubungan, dan seluruhnya diikat oleh kesatuan pencapaian tujuan. Realitasku secara keseluruhan terletak pada sikapku yang mengarahkan)
  
 Perjuangan dalam pengalaman yang bertindak dengan tujuan inilah yang meyakinkan kita akan efisiensinya sebagai person. Sifat hakiki suatu tindakan bertujuan adalah pandangannya kepada situasi dimasa depan. Demikianlah adanya unsur bimbingan dan kontrol dalam Ego menunjukkan bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka, sebagaimana ungkapan Iqbal dalam Asrār-I-Khudī:
Hidup diabadikan oleh tujuan
Oleh tujuan genta kafilah berbunyi
Hidup terpendam dalam mencari
Asalnya sembunyi dalam gairah
Nyalakan gairahmu dalam hati riang gembira...[10]

Kemerdekaan personal ini dalam kehidupan Ego menumbuhkan pribadi-pribadi kreatif saat terjadi persinggungan dengan kreatifitas pribadi yang lain. Dan pada saat terjadi persinggingan antara kepentingan pribadi ini, ada yang dengan sendirinya tersingkir dari proses tersebut sebab kelemahannya dan ketidak-jelasan tindakan kemerdekaannya. Proses tersingsingkirnya ego-ego yang lemah ini, lebih jauh belum dijelaskan oleh Iqbal, apakah itu berarti secara budaya semata atau lebih berkaitan dengan kelemahan spiritual. Serta bagaimana Ego yang kuat mengatasi ego-ego lain yang lemah juga belum begitu nampak dalam konsepsi awal filsafat Ego-nya.    
Lebih lanjut menurutnya, hanya pribadi-pribadi yang kuat sajalah yang sanggup naik ke tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Dalam Islam pengalaman lebih tinggi ini disebut sebagai iman. Iman bukanlah sekedar kepercayaan pasif akan suatu masalah tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang hidup yang didapatkan dari suatu pengalaman yang jarang terjadi.[11]

Untuk sampai pada tingkatan-tingkatan pengalaman yang lebih tinggi, yakni sebagaimana dikatakan diawal bahwa manusia adalah wakil Tuhan, manusia harus senantiasa keras menguasai pribadinya, melalui apa yang disebut Iqbal dengan pendidikan pribadi. Untuk sampai pada kesempurnaan pribadi, ada tiga fase pendidikan pribadi, yakni ; ketaatan pada hukun Ilahi, penguasaan diri, dan perwakilan Ilahi.[12]
Tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum Ilahi ini disebutkan Iqbal dalam Asrār-I-Khudī:
Siapa yang hendak menguasai matahari dan bintang
jadilah ia tawanan hukum
Karena hukum kesatuan titik air jadi laut
Dan segenggam pasir menjelma gurun sahara
Wahai kau yang lepas dari hukum Islam
Hiasilah kakimu dengan langkah agama [13]

Dalam tahap pertama ini, ketundukan terhadap hukum-hukum yang dibentuk oleh Sang Khaliq merupakan bukti bagaimana pribadi berusaha untuk selalu mendekatkan dirinya dengan Sang Maha Pencipta. Rahasia Allah tersebar dalam setiap ciptaan sekaligus hukum-hukum (sunatullah) yang ditetapkan pada setiap ciptaan-Nya. Banyak  sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menguatkan bahwa dalam setiap ciptaan baik yang ada di langit maupun di bumi, ada ketentuan yang mengikatnya sehingga terbentuk suatu keteraturan alam yang berjalan pada masing-masing ketentuan tersebut. Hanya dengan memahami arus sunatullah tersebut, manusia akan dapat menangkap rahasia-rahasia yang ada di balik setiap ciptaan. Memahami termasuk di dalamnya juga berarti menjalankan hukum yang dinisbatkan pada penciptaan manusia. 
Setelah itu, tahap selanjutnya adalah tahap belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia.
Oleh cinta Pribadi kian abadi
Lebih hidup, lebih menyala dan lebih kemilau
Cinta mengajarinya menerangi alam semesta…
Cinta tak takut pada pedang dan pisau belati
Sumber hidup ialah kilau pedang cinta[14]

Dalam tahap ini, cinta dan ketakutan kepada Tuhan memiliki nilai yang sangat besar bagi proses pendidikan pribadi. Iqbal menggambarkan cinta sebagai sebuah memuatan yang dapat melampaui ikatan ruang dan waktu yang selalu membelenggu pribadi manusia untuk sampai pada  hakekat penciptaan. Sebagaimana pendapat Iqbal bahwa:
Akal harus menembus gunung atau berputar-putar mengitarinya untuk mengatahui rahasia apa yang ada di baliknya, tetapi dengan cinta gunung bagaikan sejumput jerami, hati meluncur lincah bagai ikan. Cinta menaklukkan suatu “tanpa-ruang”.[15]

Cintalah yang sanggup menjadikan pribadi menguasai alam semesta. Dialah yang  sanggup mendamaikan silang sengketa dunia. Dalam cinta sang pribadi menemukan rahasia keindahan yang terhampar dalam warna dan aroma bunga-bunga.


Apabila pribadi diperkuat dengan cinta
Kekuatannya menguasai alam semesta
Kiai langit menghias langit dengan taburan bintang
Dipetiknya putik bunga dari dahan pribadi
Tangannya menjelma menjadi tangan Tuhan[16]
 
 Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya. Sebab Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat manusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya.
Tinggalkan dirimu dan hijrah-lah kepada Tuhan
Setelah engkau mendapat kuasa-Nya
Kembalilah lagi kepada dirimu[17]

Dengan menyerap Tuhan ke dalam dirinya, tumbuhlan Ego. Ego menjadi super Ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas ke-khalīfah-an, memancarkan sifat-sifat Ilahiah dalam mikrokosmos.[18]
Pada saat pribadi telah mencapai tahapan mitra Tuhan, dia mamiliki tanggung jawab  untuk menyampaikan, memberi peringatan dan kembali pada kahidupan dan tugas-tugas kemanusiaan. Dengan demikian mereka harus secara aktif berada dan memberikan arti yang besar bagi umat manusia. Bahkan pencapaian tahapan khalīfah itu sendiri adalah sebuah momentum semangat baru bagi arah tata peradaban manusia dimana goncangan energi-energi dunia psikologis saat pertemuannya dengan Allah merupakan pengalaman religius yang secara konkret mendasari hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu dorongan yang besar untuk menciptakan budaya baru yang merupakan koreksi atas berbagai tradisi dan sejarah terahulu yang telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan visi utama penciptaan manusia. [19]    
In his personality the finite centre of life sinks into his own infinite depths only to spring up again, with fresh vigour, to destroy the old, and to disclose the new directions of life.[20]

(Dalam kepribadiannya—seorang nabi—sebagai pusat hidup yang terbatas pada saat hanyut ke dalam Yang Tak terbatas, hanyalah usaha untuk melompat yang lebih jauh, dengan energinya yang baru, agar dapat menghancurkan yang lama dan membukakan semangat hidup yang baru.)



[1]Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, terj. Mohammad Sadikin (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) hlm. 6.

[2] Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’ Usman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 45.

[3] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jogjakarta: Jalasutra, 2002),  hlm. 162-164.

[4] Ibid, hlm. 168.

[5] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam (London: Oxford University Press, 1934), hlm. 93.
[6] Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 45.

[7] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm. 173.

[8] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam. Op.cit.,     hlm. 96

[9] Ibid, hlm. 98. Lihat juga Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit.,hlm. 175
[10] Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 70.

[11] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm. 184.

[12] Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 54.

[13] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm. 360
[14] Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm.71.

[15]Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, Op.cit. hlm. 10.

[16] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op.cit., hlm. 344.
[17] Ibid, hlm. 331.

[18] MM. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984) hlm. 34-36.
[19] Kuntowijoyo melihat bahwa keterlibatan umat dalam sejarah adalah sebagai sesuatu nilai yang sangat ideal bagi Islam. Aktivisme sejarah adalah sebuah langkah kreatif manusia untuk turut andil dalam menata arah dan melakukan koreksi secara aktif berbagai fenomna kemanuisan yang ada. Untuk itu menurutnya, Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Lihat Kontowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial”, AL-JAMI’AH No. 61,TH.1998, ( Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 65

[20] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit., hlm. 119.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI