FILSAFAT EGO DALAM SYAIR-SYAIR IQBAL
Oleh : Khilmi Zuhroni
Renungkanlah sejenak
hakekat manusia ini…
Ia masih masih bergelimang lumpur,
tapi suatu masa kelak akan sempurna
Demikian sempurnanya
makhluk yang tampak tanpa keistimewaan ini
Sehingga suatu masa
nanti,
Tuhan sendiripun cemburu
kepadanya..[1]
Dalam
sepucuk suratnya yang disampaikan pada penyair besar Akbar Allahabadi, Iqbal memberikan
penjelasan tentang terbitnya Asrār-I-Khudī, bahwa ; Agama
tanpa kekuatan adalah filsafat murni. Hal inilah yang telah mendorongnya
menulis Asrār-I-Khudī, sebuah persoalan yang telah dia pikirkan selama hampir
sepuluh tahun sebelum karya tersebut. Surat itu disampaikan Iqbal tatkala
dengan terbitnya puisi Asrār-I-Khudī, banyak terjadi perdebatan diantara
berbagai kelompok Islam, terutama bahwa konsep dan sekaligus kritik Iqbal tentang
pribadi/Khudi/Ego dianggap menyerang konsepsi Wahdāh al-Wujūd.[2]

Dengan
pemaparan al-Qur'ān yang begitu jelas, Iqbal memandang adanya keharusan untuk
memperhatikan secara serius kesatuan kesadaran manusia yang membentuk pusat
kepribadian yang dalam sejarah pemikiran Islam kurang mendapat tempat
pembahasan. Sebagaimana Bradley, Muhammad Iqbal juga menggunakan istilah Ego
untuk menyebut kesatuan kesadaran tersebut. Namun berbeda dengan Bredley yang
mengganggap Ego sebagai ilusi belaka karena di dalamnya terkandung berbagai
kontradiksi dan kekacauan, Iqbal justeru melihat Ego sebagai kesatuan dari
keadaan-keadaan mental. Keadaan mental yang saling terjalin, saling menguatkan,
memberi makna, dan tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu isolasi satu
sama lain.[4]
The Ego reveals itself as a unity of what we call
mental states. Mental states do not exist in mutual isolation. They mean and
involve one another. They exist as phases of a complex whole, called mind.[5]
(Ego menyatakan dirinya sendiri sebagai suatu
kesatuan dari yang kita sebut keadaan mental. Keadaan mental itu tidak berdiri
dalam hubungan saling membatasi. Mereka saling mengkait satu sama lain. Mereka
ada sebagai fase-fase yang komplek secara keseluruhan, yang dinamakan ide)
Dalam
muqaddimah karyanya Asrār-I-Khudī, dia menulis bahwa:
…kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah
yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia ini, merupakan hal yang
diliputi rahasia dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas
dalam fitrah manusia. Hal inilah yang disebut dengan Khudi atau Min.[6]
Karakteristik
lain dari Ego adalah kesendiriannya yang esensial, yang menunjukkan setiap
keunikan Ego. Bahkan oleh sebab sifat keunikan ini, Tuhan-pun tidak dapat
merasakannya. Maka, pengalaman kesadaran ditentukan oleh keadaan-keadaan mental
saat terjadi hubungan antara kualitas-kualitas dengan substansi kualitasnya.
Sejalan dengan William James, Iqbal menganggap bahwa pengalaman-pengalaman itu
saling memiliki kaitan hingga mereka saling tangkap antara satu dengan yang
lain dalam arus kehidupan mental. [7]
The ego consists of the feelings of personal life,
and is, as such, part of the system of thought. Every pulse of thought, present
or perishing, is an indivisible unity which knows and recollects. The
appropriation of the passing pulse by the present of thought, and that of the
present by its successor, is the ego.[8]
(Ego terdiri dari perasaan-perasaan kehidupan
pribadi, dan merupakan bagian dari sistem pikiran. Setiap denyut pikitan, saat
ini atau masa lalu, adalah kesatuan tak terpisahkan yang mengetahui dan
mengingat. Pergeseran pikiran dari masa lalu ke masa kini, demikian pula
pergantian dari masa kini ke masa lalu, itulah yang disebut ego).
Selanjutnya,
dalam perkembangannya Ego mendapat/memberi kepemimpinan dan dibentuk/membentuk
melalui pengalamannya sendiri. Dari situlah awal terbentuknya sebuah kepribadian
sejati, yakni bukan sebagai sebuah benda yang statis, tapi suatu tindakan yang
dinamis. Bagaimana Ego dapat memimpin dan mengarahkan sangat tergantung
bagaimana pengalaman-pengalaman itu membentuknya. Pengalaman sendiri hanyalah suatu
deretan tindakan-tindakan, yang satu sama lain saling berkesinambungan, yang
seluruhnya diikat oleh tujuan. Disini Iqbal berpendapat bahwa eksistensi
pribadi ditentukan oleh sikap, kemauan, maksud-maksud dan cita-citanya. Ia
tidak dapat dilihat sebagai suatu benda dalam ruang, atau sebagai deretan
pengalaman dalam rentang waktu, tetapi ia harus ditafsirkan, dipertimbangkan,
dipahami dan dihargai dari sikap, kemauan dan tindakannya tersebut.
My experience is only a series of acts, mutually
referring to one another, and held together by the unity of directive purpose.
My whole reality lies in my directive attitude.[9]
(Pengalamanku hanyalah suatu deretan
tindakan-tindakan, satu sama lain saling berhubungan, dan seluruhnya diikat
oleh kesatuan pencapaian tujuan. Realitasku secara keseluruhan terletak pada
sikapku yang mengarahkan)
Perjuangan dalam pengalaman yang bertindak
dengan tujuan inilah yang meyakinkan kita akan efisiensinya sebagai person.
Sifat hakiki suatu tindakan bertujuan adalah pandangannya kepada situasi dimasa
depan. Demikianlah adanya unsur bimbingan dan kontrol dalam Ego menunjukkan
bahwa Ego adalah suatu kausalitas personal yang merdeka, sebagaimana ungkapan Iqbal
dalam Asrār-I-Khudī:
Hidup
diabadikan oleh tujuan
Oleh
tujuan genta kafilah berbunyi
Hidup
terpendam dalam mencari
Asalnya
sembunyi dalam gairah
Nyalakan
gairahmu dalam hati riang gembira...[10]
Kemerdekaan
personal ini dalam kehidupan Ego menumbuhkan pribadi-pribadi kreatif saat
terjadi persinggungan dengan kreatifitas pribadi yang lain. Dan pada saat
terjadi persinggingan antara kepentingan pribadi ini, ada yang dengan
sendirinya tersingkir dari proses tersebut sebab kelemahannya dan
ketidak-jelasan tindakan kemerdekaannya. Proses tersingsingkirnya ego-ego yang
lemah ini, lebih jauh belum dijelaskan oleh Iqbal, apakah itu berarti secara
budaya semata atau lebih berkaitan dengan kelemahan spiritual. Serta bagaimana
Ego yang kuat mengatasi ego-ego lain yang lemah juga belum begitu nampak dalam
konsepsi awal filsafat Ego-nya.
Lebih
lanjut menurutnya, hanya pribadi-pribadi yang kuat sajalah yang sanggup naik ke
tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Dalam Islam pengalaman lebih tinggi ini
disebut sebagai iman. Iman bukanlah sekedar kepercayaan pasif akan suatu
masalah tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang hidup yang didapatkan dari
suatu pengalaman yang jarang terjadi.[11]
Untuk
sampai pada tingkatan-tingkatan pengalaman yang lebih tinggi, yakni sebagaimana
dikatakan diawal bahwa manusia adalah wakil Tuhan, manusia harus senantiasa
keras menguasai pribadinya, melalui apa yang disebut Iqbal dengan pendidikan
pribadi. Untuk sampai pada kesempurnaan pribadi, ada tiga fase pendidikan
pribadi, yakni ; ketaatan pada hukun Ilahi, penguasaan diri, dan
perwakilan Ilahi.[12]
Tahapan
belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum
Ilahi ini disebutkan Iqbal dalam Asrār-I-Khudī:
Siapa yang hendak
menguasai matahari dan bintang
jadilah ia tawanan hukum
Karena hukum kesatuan
titik air jadi laut
Dan segenggam pasir
menjelma gurun sahara
Wahai kau yang lepas dari
hukum Islam
Hiasilah kakimu dengan
langkah agama [13]
Dalam tahap
pertama ini, ketundukan terhadap hukum-hukum yang dibentuk oleh Sang Khaliq
merupakan bukti bagaimana pribadi berusaha untuk selalu mendekatkan dirinya
dengan Sang Maha Pencipta. Rahasia Allah tersebar dalam setiap ciptaan
sekaligus hukum-hukum (sunatullah) yang ditetapkan pada setiap
ciptaan-Nya. Banyak sekali ayat-ayat
Al-Qur’an yang menguatkan bahwa dalam setiap ciptaan baik yang ada di langit
maupun di bumi, ada ketentuan yang mengikatnya sehingga terbentuk suatu
keteraturan alam yang berjalan pada masing-masing ketentuan tersebut. Hanya
dengan memahami arus sunatullah tersebut, manusia akan dapat menangkap
rahasia-rahasia yang ada di balik setiap ciptaan. Memahami termasuk di dalamnya
juga berarti menjalankan hukum yang dinisbatkan pada penciptaan manusia.
Setelah itu,
tahap selanjutnya adalah tahap belajar disiplin terutama dalam mengendalikan
diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada
Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia.
Oleh cinta
Pribadi kian abadi
Lebih
hidup, lebih menyala dan lebih kemilau
Cinta
mengajarinya menerangi alam semesta…
Cinta tak
takut pada pedang dan pisau belati
Sumber hidup
ialah kilau pedang cinta[14]
Dalam tahap ini, cinta dan ketakutan kepada Tuhan
memiliki nilai yang sangat besar bagi proses pendidikan pribadi. Iqbal menggambarkan
cinta sebagai sebuah memuatan yang dapat melampaui ikatan ruang dan waktu yang
selalu membelenggu pribadi manusia untuk sampai pada hakekat penciptaan. Sebagaimana pendapat Iqbal
bahwa:
Akal harus
menembus gunung atau berputar-putar mengitarinya untuk mengatahui rahasia apa
yang ada di baliknya, tetapi dengan cinta gunung bagaikan sejumput jerami, hati
meluncur lincah bagai ikan. Cinta menaklukkan suatu “tanpa-ruang”.[15]
Cintalah yang sanggup menjadikan pribadi menguasai
alam semesta. Dialah yang sanggup
mendamaikan silang sengketa dunia. Dalam cinta sang pribadi menemukan rahasia
keindahan yang terhampar dalam warna dan aroma bunga-bunga.
Apabila pribadi diperkuat dengan cinta
Kekuatannya menguasai alam semesta
Kiai langit menghias langit dengan taburan bintang
Dipetiknya putik bunga dari dahan pribadi
Tangannya menjelma menjadi tangan Tuhan[16]
Tahap selanjutnya adalah proses
pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara
konsisten dengan ketinggian martabat pribadi Sang
pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya. Sebab Tuhan tidak dapat
diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat manusia
telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga
menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam
dirinya sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya.
Tinggalkan dirimu dan
hijrah-lah kepada Tuhan
Setelah engkau mendapat
kuasa-Nya
Kembalilah lagi kepada
dirimu[17]
Dengan
menyerap Tuhan ke dalam dirinya, tumbuhlan Ego. Ego menjadi super Ego, maka
pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah
memenuhi syarat menjalankan tugas ke-khalīfah-an, memancarkan
sifat-sifat Ilahiah dalam mikrokosmos.[18]
Pada saat
pribadi telah mencapai tahapan mitra Tuhan, dia mamiliki tanggung jawab untuk menyampaikan, memberi peringatan dan
kembali pada kahidupan dan tugas-tugas kemanusiaan. Dengan demikian mereka
harus secara aktif berada dan memberikan arti yang besar bagi umat manusia.
Bahkan pencapaian tahapan khalīfah itu sendiri adalah sebuah momentum
semangat baru bagi arah tata peradaban manusia dimana goncangan energi-energi
dunia psikologis saat pertemuannya dengan Allah merupakan pengalaman religius
yang secara konkret mendasari hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya
berubah menjadi suatu dorongan yang besar untuk menciptakan budaya baru yang
merupakan koreksi atas berbagai tradisi dan sejarah terahulu yang telah jauh dari
nilai-nilai luhur kemanusiaan dan visi utama penciptaan manusia. [19]
In his personality the finite centre of life sinks
into his own infinite depths only to spring up again, with fresh vigour, to
destroy the old, and to disclose the new directions of life.[20]
(Dalam kepribadiannya—seorang nabi—sebagai pusat
hidup yang terbatas pada saat hanyut ke dalam Yang Tak terbatas, hanyalah usaha
untuk melompat yang lebih jauh, dengan energinya yang baru, agar dapat
menghancurkan yang lama dan membukakan semangat hidup yang baru.)
[1]Muhammad
Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, terj. Mohammad Sadikin (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1987) hlm. 6.
[2]
Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’ Usman
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 45.
[3] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jogjakarta:
Jalasutra, 2002), hlm. 162-164.
[4] Ibid,
hlm. 168.
[5]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam
(London: Oxford University Press, 1934), hlm. 93.
[6]
Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 45.
[7]
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm.
173.
[8]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam.
Op.cit., hlm. 96
[9] Ibid,
hlm. 98. Lihat juga Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam,
Op. cit.,hlm. 175
[10]
Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 70.
[11]
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm.
184.
[12]
Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm. 54.
[13]
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op. cit. hlm.
360
[14]
Abdul Wahhab Azzam, Op. cit. hlm.71.
[15]Muhammad
Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, Op.cit. hlm. 10.
[16] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op.cit.,
hlm. 344.
[17] Ibid,
hlm. 331.
[18]
MM. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung:
Mizan, 1984) hlm. 34-36.
[19]
Kuntowijoyo melihat bahwa keterlibatan umat dalam sejarah adalah sebagai
sesuatu nilai yang sangat ideal bagi Islam. Aktivisme sejarah adalah sebuah
langkah kreatif manusia untuk turut andil dalam menata arah dan melakukan
koreksi secara aktif berbagai fenomna kemanuisan yang ada. Untuk itu
menurutnya, Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak
dibenarkan. Lihat Kontowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan
Ilmu-ilmu Sosial”, AL-JAMI’AH No. 61,TH.1998, ( Jogjakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 65
[20]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit.,
hlm. 119.
Komentar
Posting Komentar