KONSEPSI PROFETIK DALAM TRADISI FILSAFAT ISLAM

Oleh : Khilmi Zuhroni
Berbeda dengan tradisi filsafat barat, baik filsafat barat klasik, modern maupun filsafat barat kontemporer tidak banyak beranjak dari perdebatan abadi antara idealisme dan realisme, atau rasionalisme dan empirisisme yang lebih bercorak materialistik, konsepsi kenabian (profetologi) memperoleh perhatian tersendiri dalam porsi yang sangat besar dalam tradisi filsafat Islam. Adanya perhatian yang besar ini tentunya sangat berkaitan dengan konteks keberadaan nabi-nabi yang diyakini sebagai pengantar-penyampai “rasūl” pengetahuan tentang kebenaran yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia. Namun demikian dalam kajian filosofis posisi kenabian kaitannya dengan usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan akan adanya Tuhan dan pengetahuan akan kebenaran, memunculkan perdebatan tersendiri. Keberadaan nabi sesungguhnya tidak sebatas sebagai upaya Tuhan untuk menyingkap kebenaran wujud-Nya semata, namu lebih jauh adalah sebagai satu  perwujudan bagaimana seharusnya (sebagai citra ideal) manusia sebagai makhluk ciptaan melakukan proses komunikasi antara dirinya dengan Sang Pencipta, serta sejauhmana komunikasi tersebut menghasilkan sebuah konsepsi pengetahuan universal antara manusia, alam dan konsepsi tentang Tuhan.    
Pembenaran bahwa keberadaan nabi semata sebagai upaya Tuhan menyingkap rahasia diri-Nya, mula sekali telah dibantah terutama oleh kelompok pemikir yang didominasi oleh rasionalisme Hellenis. Bahwa tanpa wahyu yang disampaikan oleh para nabi-nabi sebetulnya manusia dapat mengetahui Tuhan, meskipun menurut Ibnu Hāzm (994 – 1063 M), akal manusia sepenuhnya tidak akan sanggup mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Menurutnya, orang tidak dapat membuktikan adanya Tuhan  dengan akal, oleh karena terdapat sesuatu cara berpikir yang belum diciptakan oleh manusia untuk mengantar keimanan manusia sampai kepada konsep tentang Tuhan. Di sinilah letak kunci segala pemikiran tentang Tuhan; sesuatu meditasi tentang adanya sesuatu dalam diri manusia yang manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri. [1]    
Dalam tradisi filsafat Islam, bantahan atas keberadaan nabi secara mendalam disampaikan oleh al-Rāzī (863 – 925 M). Filosof  yang lahir di Ray suatu kota dekat Taheran dengan nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariyyah al-Rāzī ini mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Agung telah mengaruniakan akal pada manusia agar bisa memperoleh manfaat baik di dunia maupun di akhirat.[2]
Dengan akal manusia dapat menciptakan dan mengerakkan kapal untuk mengarungi lautan yang luas. Dengan akal pula manusia dapat menemukan ilmu-ilmu kedokteran yang sangat bermanfaat untuk mengobati sesamanya, menemukan hal-hal yang tersembunyi, mengetahui gugus planet dan antariksa serta berbagai gerak dan rotasinya, sampai akhirnya mengetahui dan meyakini Sang Adi Kodrati melalui hukum-hukum alam yang diciptakan-Nya.[3]

Jika dengan akal manusia dapat membedakan yang baik dan jahat, yang berguna dan tidak berguna, serta mampu mengetahui Tuhan, lalu kenapa dibutuhkan nabi-nabi untuk menyampaikan wahyu. Pemikiran al-Rāzī tentang otoritas akal inilah yang mejadikannya tidak percaya pada nabi-nabi.[4]
Konsepsi kenabian menurut al-Rāzī ini lebih dapat dianggap sebagai lanjutan dari perdebatan teologi klasik antara fungsi akal dan wahyu. Apakah akal dengan sendirinya dapat mengetahui yang baik tanpa keberadaan wahyu atau akal sepenuhnya dapat mengetahui yang baik dan pengetahuan tentang Tuhan hanya dengan adanya wahyu.            
Disamping al-Rāzī ada juga filosof sezamannya yang dengan lebih keras menyerang tradisi kenabian, dialah Ibnu al-Rāwandī (w. 910). Filosof yang terkenal sebab pemikirannya yang radikal dan bebas ini telah menanggalkan tema-tema adikodrati utamanya tentang wahyu dan mukjizat. Sebagaimana halnya al-Rāzī, Ibnu al-Rāwandī juga menyatakan bahwa akal manusia cukup memadai untuk mendapatkan dengan tepat pengetahuan tentang Tuhan, serta cukup memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. [5]
Sementara di sisi yang lain, untuk tetap mencoba menggali makna dan hakekat kenabian dalam Islam, beberapa filosof  Islam juga mencoba melakukan pembahasan tentang keberadaan nabi dan terutama terkait dengan wahyu yang diturunkan. Meskipun oleh karena nuasa pemikiran filsafat saat itu yang lebih banyak didasarkan pada logika rasionalisme Yunani, maka konsepsi-konsepsi kenabian mereka belum mampu memberikan gambaran yang utuh akan keberadaan nabi-nabi tersebut.[6]
Diantara para filosof tersebut adalah Abū Nasr Muhammad al-Fārābī. Dia lahir di Wasij, suatu desa di Farab, Turkestan pada tahun 257H/870 M, dan wafat pada usia 80 tahun di Aleppo Damaskus, yakni pada  tahun 330H/950 M.[7]
Menurut al-Fārābī, nabi adalah manusia pilihan yang sanggup melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Dalam bangunan sistem pemerintahan  ideal " al-Madīnah al-Fadīlah" al-Fārābī menempatkan nabi atau rasul sebagai sebaik-baik kepala masyarakat, yakni sebagai sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.[8] Sebuah tatanan masyarakat yang harmonis mensyaratkan adanya sosok pemimpin yang sanggup melakukan komunikasi secara transendental untuk nenperoleh pengatahuan langsung dengan Akal Kesepuluh.   Berbeda dengan para filosof yang melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh melalui usaha sendiri dengan menggunakan akal mustafat, komunikasi antara nabi atau rasul dengan Akal Kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, melainkan atas anugrah dan pemberian dari Tuhan. Pemberian itu berwujud kemampuan daya imajinasi yang sangat kuat sehingga memungkinkan mereka sanggup berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa melalui latihan yang harus dijalani sebagaimana para filosof.[9]
Dengan membandingkan antara seorang filosof dan nabi, konsepsi kenabian al-Fārābī memberikan kesan bahwa nabi adalah manusia pilihan Tuhan, yang tanpa latihan dan olah pemikiran mereka telah dengan sendirinya memiliki kemampuan imajinasi untuk melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh yang merupakan bagian dari tahapan emanasi Tuhan.
Dengan kemampuan berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh itulah nabi atau rasul, dalam pandangan al-Fārābī, adalah sosok pemimpin yang ideal. Sebab mereka menguasai pengetahuan universal yang sanggup mereka dapat melalui komunikasi tersebut sehingga dapat mengatur bumi ini dengan baik dan berfaedah bagi masyarakat. Tugas kepala negara dengan demikian, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Selain al-Fārābī, Filosof yang juga mencoba menggabungkan antara kesadaran penuh tentang perlunya filsafat kenabian dan filsafat Yunani adalah Abu ‘Ali Husein Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sīnā. Dia lahir di Afshanah sebuah desa kecil dekat Bukhara, ibu kota Dinasti Samāniyyah pada tahun 370 H/980 M. Menurut biografi yang ditulis oleh muridnya al-Juzjānī, Ibnu Sīnā banyak belajar berbagai ilmu pengetahun sejak kecil. Filosof yang oleh para pengagumnya di Barat-Eropa lebih dikenal sebagai Avicenna ini dalam usia 17 tahun ditah dikenal sebagai dokter. Dia wafat di Isfahan pada tahun 428 H/1037 M.[10]  
Dalam filsafat jiwa-nya yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, Ibnu Sīnā membagi jiwa dalam tiga tingkatan, yakni ; jiwa tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. Sifat seseorang sangat dipengaruhi oleh ketiga jiwa tersebut.[11] Jika jiwa binatang yang banyak menguasai manusia, maka manusia dapat menyerupai binatang demikian juga jika jiwa tumbuhan yang lebih banyak menguasai manusia, dan seterusnya. Sementara itu terkait dengan posisi kenabian, menurut Ibnu Sīnā adakalanya Tuhan menganugerahkan akal manusia yang lebih kuat yang disebut sebagai al-Hads (intuisi). Anugrah ini sepenuhnya bergantung pada Kepemeliharaan Ilahi, yakni sebuah realitas yang melaluinya Sang Pencipta sadar akan diri –Nya dan keadaan eksistensi dalam sistem kebaikan, serta bahwa diri-Nya menyebabkan kebaikan dan kesempurnaan sejauh itu dimungkinkan.[12] 
Dalam sebuah karyanya yang berjudul “Etat de l’ame sainte qui est celle des prophetes” (Keadaan jiwa yang suci, yakni jiwa para nabi), Ibnu Sīnā mendefinisikan jiwa suci adalah:
Jiwa yang berpikir dari nabi-nabi yang luhur, yang mengetahui hal-hal yang perlu dipikir, tanpa guru dan buku, hanya dengan intuisi akal dan bersatu dengan malaikat. Jiwa tersebut dalam keadaan terjaga memanjat tinggi sampai alam yang tak terlihat dan di sana ia menerima wahyu. Wahyu adalah pancaran antara malaikat dan jiwa manusia, wahyu itu memengaruhi materi alam untuk menimbulkan mukjizat. Itulah tingkatan yang paling tinggi bagi manusia. Dengan begitu maka manusia mendapatkan amanah kekhalīfahan oleh Allah di muka bumi. Eksistensinya adalah sesuai dengan akal dan sangat perlu bagi klngsungan hidup umat manusia. [13]

Akal yang mempunyai daya suci semacan ini hanya terdapat dalam nabi-nabi. Dengan daya yang kuat ini dengan mudah nabi-nabi dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan menerima cahaya serta wahyu dari Tuhan. Yang bisa menjadi aktual secara sempurna tanpa melalui adanya perantara itulah yang disebut Nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan  dalam lingkungan bentuk-bentuk material. Nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.[14]

Filosof lain yang juga banyak bicara tentang profetik adalah Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn al-‘Arabī al-Tha’i al-Hatimī atau yang biasanya dikenal dengan sebutan Muhyiddin Ibnu ‘Arabī. Ia lahir di Murcia, Andalusia pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. dan meninggal di Damaskus pada 22 Rabi’ul Akhir 638 H /10 November 1240 M.[15]
Menurut Ibn ‘Arabī, kenabian sebagai derajat makrifat yang membuat dia dapat memahami hubungan yang jelas antara Tuhan (Realitas) yang dihadapinya dengan manifestasi, dan menyadari kesatuan esensialnya dengan realitas Tunggal.[16] Dalam pengertian paling luas, mereka mewarisi pengetahuan karena telah merupakan bagian dalam kenabian mereka (yakni pengetahuan esoterik) yang berasal dari Ruh Muhammad. [17]
Ruh Muhammad sebagaimana dipahami oleh Ibnu ‘Arabī adalah  sebagai konsepsi logos universal yang dalam kategori metafisik murni disebut sebagai Intlek Pertama. Sedangkan dari segi mistis, ia menamakan logos yang sama terhadap Realitas Muhammad sebagai Manusia Sempurna dengan memandangnya sebagai prinsip aktif di dalam semua pengetahuan kudus dan esoteris. Dalam kaitannya dengan manusia, Ibnu ‘Arabī mengidentikkan logos ini dengan Adam dan Realitas Manusia. Sedangkan dalam hubungannya dengan alam sebagai suatu keseluruhan, ia namakan dengan Realitas dari segala Realitas. Tidak kurang dari 22 istilah yang dipakai oleh Ibnu ‘Arabī untuk menggambarkan Logos Muhammad.[18]
Wakil sebenarnya (khalīfah) dari Tuhan adalah Ruh Muhammad yang terus-menerus memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk nabi dan santo-santo (kelas manusia yang termasuk dalam kateori manusia sempurna) yang masing-masing bisa disebut sebagai khalīfah. Dan kini, oleh karena kerasulan dan kenabian itu telah berakhir, ke-khalīfah-an umum sajalah yang tinggal dan  telah menjadi warisan eksklusif dari santo-santo muslim yang juga merupakan pengikut-pengikut dari hukum Muhammad.[19]
Berbagai pemaparan diatas menunjukkan adanya ciri utama dari kesadaran profetik/nubūah yakni adanya jiwa suci, ruh Muhammad, daya imajinasi yang memungkinkan pribadi melakukan komunikasi dengan Tuhan sehingga sangup menangkap pesa-pesan yang disampaikan. Sebagaimana Tuhan memberikan pengetahuan pada para nabi melalui kekuatan imajinasi mereka untuk sampai pada pengetahuan universal agar dapat memberi peringatan dan kabar gembira pada umat manusia, maka sebagaimana tetap berlangsungnya proses kehidupan semesta, dengan berakhirnya tradisi kenabian yang diyakini sampai pada diri Muhammad, seperti yang disampaikan oleh Ibnu ‘Arabī, manifestasi ruh suci pada konsepsi ke-khalīfah-an akan tetap mengalir sampai pada masanya.



[1] Roger Garaudy, Janji Janji Islam, terj. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 116.

[2] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm.155.
[3] Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif  (Jogjakarta, LESFI, 1992), hlm. 22.
  
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistik dalam Islam, cet. 4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 25.
[5] Majid Fakhry, Op.cit. hlm.148.

[6] Roger Garaudy, Op. cit. hlm. 118.

[7] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 222.

[8] Harun Nasution, Op. Cit. hlm.32.
[9] Dalam teori emanasi, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Bahwa alam semesta ini terjadi melalui emanasi Tuhan. Dimana Tuhan sebagai akal berfikir tentag diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbullah suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (al -‘Aql al-Awwal) yang tak bersifat materi. Akal Pertama juga berfikir tentang dirinya dan timbullah langit permata dan seterusnya, sampai pada Akal Kesepuluh yang merupakan emanasi dari wujud X dan akal Kesembilan. Sedangkan akal mustafat adalah bagian dari daya berfikir yang telah mampu menangkap bentuk semata-mata. Al-Farabi berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya; 1) Gerak (motion): makan, memelihara, dan berkembang; 2) Mengetahui (cognition): merasa dan imajinasi; 3) Berfikir (intellection): akal potensial, akal actual, dan akal mustafad. Ibid, hlm. 27 – 31.
[10] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. cit. hlm. 285.

[11] Ibnu Sīnā membagi jiwa dalam tiga bagian :1) Jiwa tumbuh-tumbuhan : daya makan, tumbuh, dan berkembang biak; 2) Jiwa binatang: daya gerak dan daya menangkap yang terbagi dalam: penangkapan luar (pancaindera) dn penangkapan dalam (iner-indera: common sense, representasi, imaginasi, estimasi dan rekoleksi); 3) jiwa manusia: daya praktis dan daya teoritis yang terbagi dalam empat tingkatan, yakni : akal materiil, intellectus in habitu, akal aktuil, dan akal mustafat. Lihat Harun Nasution, Op.cit. hlm.35-37.

[12] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. cit. hlm. 172.

[13] Roger Garaudy, Op. cit. hlm. 121.

[14] Nurcholis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 141.

[15] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op.cit. hlm. 617.

[16] A.E.Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989), hlm. 132.
     
[17] Ibid, hlm.135.
[18] Ibid, hlm. 99 – 100.
      
[19] Ibid, 134-135.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KPN Dalam Struktur HMI; Sebuah Tinjauan Kritis

Teori Kebijakan Fiskal

MENGENAL SOSOK IMAM JALALUDDIN AS-SUYUTI