CORAK PEMIKIRAN SIR MUHAMMAD IQBAL

Muhammad Iqbal merupakan sosok Filosof sekaligus
Penyair yang telah memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan
pemikiran Islam. Menurutnya dalam kondisi dunia Islam yang mengalami krisis
eksistensi keberagamaan ditengah arus kolonialisme Negara-negara barat saat
itu—bahkan bisa jadi dalam alur pemikiran besar modernisme saat kini—umat Islam
harus memiliki semangat besar untuk membangkitkan kembali kesadaran dalam
keagamaan. Pola pikir yang menurutnya telah terjebak dalam ritualitas ibadah,
serta pendangan yang sempit tentang konsep keagamaan harus segera dirubah untuk
mendapatkan kembali semangat perkembangan dan kemajuan pemikiran keagamaan
sebagaimana yang pernah terjadi sebuah kemajuan pemikiran sangat pesat pada
abad pertengahan dan beberapa abad sesudahnya.[1]
Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, pemikiran Iqbal
banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme Eropa, terutama Jerman. Namun
demikian bukan berarti pemikiran Iqbal sepenuhnya menjadi “catatan kaki” dari
suasana vitalitas yang sedang berkembang saat itu. Sebab konsepnya tentang
manusia sempurna juga banyak melakukan kritik atas eksistensialisme Eropa yang menurutnya
tidak bertuhan.
Untuk mempermudah manemukan bagaimana corak
pemikiran Muhammad Iqbal, ada baiknya
menggunakan klasifikasi perkembangan pemikiran
Muhammad Iqbal sebagaimana yang ditulis oleh M.M Sharif. Menurutnya
bahwa untuk mempermudah memahami pemikiran
Muhammad Iqbal ada tiga periode tahapan perkembangan pemikiran Iqbal.
Yakni; periode pertama, antara tahun 1901 – 1908. Dalam masa ini, pemikiran Iqbal tentang Tuhan dan keindahan
lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Platonis. Di mana Tuhan menyatakan
dirinya dalam segala sesuatu dan menjadi penyebab gerak dari segalanya. Dalam
tahapan ini, Iqbal memulai medekati konsepsi ketuhanan dengan konsepsi bahwa
Tuhan adalah sebagai keindahan Abadi yang ada dan tidak tergantung pada sesuatu
dan mendahului segalanya. [2]
Sebagai keindahan abadi, Tuhan menyatakan dirinya di
langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, pada burung-burung dan
bintang-bintang. Sebagai Pusat Keindahan, Dia memberi daya tarik pada segala
sesuatu. Daya tarik inilah yang menjadikan semua ciptaan bergerak mengikuti arus
sumber utama keindahan. Proses alami menuju Pusat Keindahan inilah yang
disebutnya sebagai gerak kenabian. Yakni, suatu kesadaran yang disebutnya sebagai sebuah proses konstruksi kehidupan
yang terus-menerus bergerak menuju kesempurnaan. [3]
Nampaknya sejak awal Iqbal berusaha menyampaikan bahwa
untuk sampai pada Pusat Keindahan itu, manusia tidak mungkin hanya dengan
menggantungkan diri dan berserah pada pribadi-pribadi yang lain. Manusia harus
memiliki daya tumbuh dan berkembang, daya gerak dan hasrat untuk terus menuju
kesempurnaan. Sebab tanpa dorongan dan gairah untuk terus tumbuh, pancaran
keindahan Tuhan yang tersebar meliputi semua ciptaan-Nya hanya menjadi bias dan
tidak bermakna bagi kehidupan.
Periode kedua adalah antara tahun 1908 – 1920. Dalam periode
ini, kematangan Iqbal pada konsepsi gerak dan kekuatan pribadi mulai menapaki
konsepsi kesempurnaan. Jika pada periode pertama tolak pemikiran Iqbal lebih
pada konsepsi Tuhan sebagai Pusat Keindahan, pada periode kedua Iqbal mulai
memunculkan konsepsi cinta pada Keindahan tersebut..[4]
Pada tahap ini dalam diri Iqbal mulai tumbuh keyakinan
akan keabadian cinta, hasrat dan gerak. Cinta kepada Keindahan, akan melahirkan
hasrat untuk selalu bergerak berusaha mencapai Keindahan tersebut. Cinta
bukanlah sesuatu yang statis, ia adalah hasrat potensi pada pribadi yang pada
saatnya akan meluap meledak menuju Pusat yang dicintainya.
Oleh cinta sang Pribadi kian abadi
Lebih hidup, lebih menyala dan lebih berkilauan
Dari cinta menjelma pancaran wujud-Nya
Dan serba kemungkinan yang semula tak diketahui
Fitrahnya menghimpun api dari cinta
Cinta mengajarinya menerangi alam semesta
Cinmta tak pernah takut kepad pedang dan belati
Cinta pula yang menciptakan kedamaian dan peperangan di bumi
Sumber hidup adalah kilau mata pedang cinta[5]
Pada rentang masa ini pemikiran Iqbal banyak
dipengaruhi oleh Mc. Taggart, James Ward, yakni pada saat Iqbal belajar di
Cambridge University. Disamping itu pendalamannya atas karya-karya penyair Rumi
juga banyak mempengaruhi sang penyair-filosof ini. Dalam perjalanan pemikirannya,
Iqbal menjadikan Rumi sebagai pembimbing jalan hidupnya guna mengantisipasi
ide-ide Nietzsche dan Bergson, yang menurutnya tidak memiliki landasan
illahiyah hingga dapat tersesat dalam arogansi manusia supernya.[6]
Pada masa inilah Iqbal mulai memberikan perhatian yang
kuat pada keabadian Pribadi. Hampir sebagian besar karyanya dalam rentang
periode ini selalu mengisaratkan betapa penting dan berharganya keagungan
pribadi. Menurutnya keabadian bukanlah suatu keadaan, melainkan sebuah proses.
Kepribadian sebagai milik paling berharga manusia harus dilihat sebagai
kebaikan puncak. Ia harus berfungsi sebagai standar penilaian bagi setiap
tindakan manusia. Sesuatu itu baik jika memperkuat kepribadian, dan buruk jika
mempunyai kecenderungan untuk menekan dan akhirnya melenyapkan kepribadian.
Selanjutnya, periode ketiga perkembangan pemikiran
Iqbal berlangsung antara tahun 1920 – 1938, tahun meninggalnya Iqbal. Pada masa
inilah secara mental, pemikiran Iqbal dapat dianggap sebagai masa kedewasaan.
Dalam masa ini perkembangan pemikiran
Iqbal mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Ide tentang hakekat
pribadi makin menonjol, namun mengingat dari berbagai unsur-unsur sintesis yang
dia ramu begitu cepat, pada masa ini dapat dikatakan sebagai Filsafat proses.[7]
Hidup
adalah sesuatu yang terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk
senantiasa menerima cahaya-cahaya baru dari realitas yang tak terbatas yang
setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru.
Nature not as something static, situate in an
infinite void, but a structure of inter-related event out of whose mutual
relations arise the concept of space and time. And this is only another way of
saying that space and time are interpretations which thought puts upon the
creative activity of the Ultimate Ego.[8]
(Alam tidak sebagai sesuatu yang statis, yang
terletak dalam rongga tak terhingga, melainkan sebagai suatu truktur
peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan, yang pada akhirnya melahirkan
pengertian-pengertian tentang ruang dan waktu. Dengan kata lain bahwa konsep
ruang dan waktu ini dipahami oleh pikiran terhadap aktifitas yang kreatif dari
Ego-Terakhir).
Dalam
pandangan Iqbal, Tuhan sebagai Ego Mutlak adalah “Hakekat sebagai suatu keseluruhan”,
dan sebagi hakekat suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual.
Dia adalah
“suatu paduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan
organis-Nya untuk suatu tujuan konstruktif. Ia adalah Ego karena menanggapi
refleksi dan sembahyang kita; karena ujian yang paling nyata pada suatu pribadi
adalah, apakah ia memberi tanggapan kepada pribadi yang lain. Tepatnya dia
bukanlah ego melainkan Ego Mutlak. Yang meliputi segala sesuatu, dan tidak ada
sesuatu pun dia luar Dia.[9]
Dari periodisasi perkembangan pemikiran Iqbal,
nampaklah bahwa filsafatnya bertitik
tolak dari konsepsi tentang Ego. Hal ini tidak semata menggambarkan adanya krisis eksistensi kedirian yang banyak
terdapat pada masa kehidupan Iqbal, namun secara esensial lebih merupakan
kesadaran memahami peran kemanusiaan itu sendiri. Berbeda dengan kebanyakan
filosof eksistensialisme Barat yang lebih menekankan pencapaian manusia
super-nya melalui kebebasan mutlak, kekuasaan, dan oleh karena itu meniadakan
Tuhan, bagi Iqbal Pribadi yang sempurna merupakan manifestasi dari hasrat
menemukan pembuktian dihadapan-Nya. Eksistensi ialah hasrat untuk menjelmakan diri. Hidup berarti kemauan untuk
untuk membuktikan bahwa diri ini ada. Dan bentuk yang paling nyata dari
pernyataan wujud ini terdapat dalam peristiwa mi'raj. Yakni sebuah hasrat
mencari bukti serta kesaksian untuk mengukuhkan wujud.[10]
Tanpa kesaksian itu, wujud kita tidak lain bagai
warna dan aroma pada setangkai bunga. Tidak ada satupun yang dapat tegak
dihadapan-Nya. Tapi yang mampu bertahan, ia bagai emas murni. Jangan
sia-siakan, walau sejumput kecilpun, cahaya yang kau miliki.....hanya wujud
yang hidup sajalah yang patut beroleh sanjungan, sebab jika tidak, nyala api
wujud tidak lain daripada asap belaka.[11]
Dengan demikian, corak pemikiran Iqbal
dapat kategorikan sebagai eksistensialisme-transendental, yakni sebuah proses
penguatan pribadi melalui tahapan-tahapan spiritual yang didasarkan pada
kesadaran melibatkan diri terhadap
semesta dan sejarahya serta dengan pengetahuan yang mendalam tentang keduanya,
memberi arti kreatif adanya hasrat
hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu kekuatan dunia yang
berjiwa.
[1]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 191.
[2]
MM. Syarif, op. cit., hlm. 28.
[3] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op.cit.,hlm. 206.
[4]
MM. Syarif, op. cit., hlm. 30.
[5]Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Op.cit.,hlm. 336.
[6]
MM. Syarif, op. cit., hlm. 33.
[7] Ibid.,
hlm. 36.
[8]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam
(London: Oxford University Press, 1934), hlm. 61.
[9] MM.
Syarif, op. cit., hlm. 37
[10]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab
Keabadian,op.cit., hlm. 5-8.
[11] Ibid,
hlm. 9.
Komentar
Posting Komentar