FILSAFAT PROFETIK DAN MISTIK DALAM PANDANGAN MUHAMAD IQBAL
Oleh : Khilmi Zuhroni
Salah satu pokok
masalah yang menimbulkan perdebatan antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme
adalah masalah monisme dan pluralisme. Menurut Iqbal watak utama bagi setiap
ego adalah individualitasnya. Alam semesta merupakan kumpulan dari
individu-individu, dan Tuhan sendiri adalah sebagai individu yang sempurna.
Perbedaan yang paling jelas antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme terutama
dalam konsepsi Wahdāh al-Wujūd dalam konteks ini adalah bahwa spiritualitas dalam individu
sebagaimana menurut Iqbal lebih menekankan pada satu aspek dari spiritualitas
yang menyebar, yakni yang bersifat pluralistik, sementara Wahdāh
al-Wujūd lebih menekankan pada aspek
monistiknya.[1]
Wujud Tuhan dalam Wahdāh al-Wujūd bersifat wajib ada, meskipun sekaligus bersifat imanen
dalam alam benda-benda dan bersifat transenden.
Peristiwa-peristiwa diterangkan dalam hukum sebab-akibat, dan kewajiban
sosial dilakukan seakan-akan dunia ini adalah dunia yang riil. Sementara Iqbal tidak
pernah bicara tentang pluralitas dalam pengertian bahwa dunia ini benar-benar
tidak bergantung pada kesadaran Ilahiah. Meskipun alam semesta ini terdiri dari
kumpulan individu-individu, ada jiwa kreatif yang sama yang membuat setiap
individu di dalamnya menjadi aktif.[2]
Sementara
mistisisme bicara tentang menghilangkan diri ‘Ittihād
seseorang secara total atau penafian diri (Fanā') secara menyeluruh, Iqbal
bicara tentang penyempurnaan diri.
Konsep tahap akhir mistisisme adalah konsep identifikasi menyeluruh keinginan
individu secara sempurna dengan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Iqbal membedakan
antara kesadaran kenabian (profetik) dan kesadaran mistik. Dalam mistis
identifikasi ini dicapai dengan cara penafian diri, sedangkan dalam profetis
identifikasi dilakukan dengan cara mengembangkan suatu kesadaran bahwa
aktivitas kreatif diri adalah aktifitas Ilahiah.[3]
Tentang pengetahuan mistik yang didapat
melalui tahapan penyatuan diri dengan Tuhan, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa
dalam pengetahuan mistik terjadi suatu moment penggabungan yang rapat sekali
dengan pribadi lain Yang Tunggal, Maha Utama, maha menyeluruh dan untuk
seketika menekan kepribadian subyek yang mengalami pengalaman itu. Kenyataan
semata mengatakan bahwa keadaan mistik itu pasif sepenuhnya kurang tepat. Sebab
dalam pengetahuan mistik tidak seperti pengetahuan yang dialami melalui proses
pencerapan indrawi, sebagaimana kita tidak mengetahui pikiran-pikiran orang
lain kecuali melalui gerakan-gerakan fisik orang tersebut. Dalam mistik
pengetahuan itu merupakan refleksi batin atas wujud lain. Dengan demikian
pengetahuan dalam suasana mistik
bukanlah bergerak tanpa pararel. Karena nilai pengalaman mistik itu secara
langsung dialami, maka jelaslah hal itu tidak dapat dihubungkan sebagaimana
pada pengalaman pengindraan. Suasana mistik lebih bersifat perasaan ketimbang
pikiran.[4]
Muhammad Iqbal
sendiri memberikan tingkatan kesadaran mistik secara umum tentang garis besar
sifat-sifat pengalaman mistik tersebut. Menurutnya sebagai pokok utama yang
harus diajukan adalah semua pengalaman bersifat langsung. Keberlangsungan
pengalaman mistik itu hanyalah berarti bahwa kita mengenal Tuhan persis
sebagaimana kita mengenal obyek-obyek lain.[5]
Kedua,
bahwa pengalaman mistik tidak dapat diuraikan. Berbeda dengan kesadaran
rasional di mana secara praksis seseorang dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan di sekelilingnya dengan cara mengambil kenyataan sedikit demi sedikit,
pada suasana mistik seseorang dihadapkan pada semua keseluruhan kenyataan,
bercampur-baur satu dengan yang lainnya suatu kesatuan yang tidak dapat
diuraikan karena tidak adanya perbedaan antara subyek dan obyek.
Pokok
ketiga ialah bahwa bagi mistik suasana itu merupakan momentum penggabungan yang
rapat sekali dengan suatu pribadi lain yang tunggal. Sebagai proses
penggabungan dengan pribadi lain yang tunggal tentunya pribadi yang mengalami
kondisi ini tidak sepenuhnya pasif, sebab untuk sampai pada penggabungan kalbu
subyektifitas murni harus berupaya keras mencapai kearah sana (laku mistik),
dalam arti bahwa kelangsungan pengalaman dalam suasana mistik bukanlah tanpa
pararel.
Oleh sebab
pengalaman mistik itu secara langsung dialami, maka dia lebih bersifat pesaraan
ketimbang pikiran. Sementara itu perasaan menurut Muhammad Iqbal adalah
ketidakstabilan dari seluruh pribadi yang sadar; dan tempat stabilnya pribadi
itu tidaklah terletak dalam batasannya sendiri, tapi melalui batas itu. Dengan
demikian sebagai sebuah perasaan, pengalaman mistik haruslah memiliki tujuan,
sebab tanpa tujuan sama tidak mungkinnya sebuah kegiatan tanpa adanya tujuan.
Sebagai sebuah pengalaman tidaklah kondisi itu akan terus-menerus terjadi.
Sebagaimana pengalaman-pengalaman biasa kondisi itu akan kembali ke arah normal.
Dari kenyataan ini jelaslah bahwa suasana mistik juga akan hilang sebagaimana
pengalaman yang lain. Di sinilah juga adanya perbedaan yang sangat mendasar
terutama terletak pada kesinambungan dari kesudahan pengalaman tersebut, yakni
antara penganut mistik dengan seorang nabi.
Both the mystic and the prophet return to the
normal levels of experience; but with this difference that the return of
prophet, as I will show leter, my be fraught with infinite meaning of mankind.[6]
(Baik penganut mistik, maupu seorang nabi,
keduanya akan kembali ke tingkat pengalaman normal, akan tetapi dengan
perbedaan itu, kembalinya seorang nabi, akan memberikan makna yang takterhingga
bagi kahidupan manusia)
Muhammad Iqbal
berpendapat bahwa sesungguhnya ada perbedaan yang cukup signifikan antara
kesadaran yang ada dalam tradisi kenabian dengan kesadaran yang ada dalam
tradisi mistik. Tujuan kesadaran mistik adalah membuat kesadaran
individu padam ketika persatuan dengan Tuhan telah dicapai. Dalam kesadaran
mistik pertemuannya dengan Tuhan, memungkinkan tidak adanya keinginan untuk
kembali setelah diri ada dalam suasana tentramnya “pengalaman tunggal”, dan
kalau pun ia kembali, maka kembalinya itupun tidaklah memberi arti yang besar
bagi umat manusia.[7]
Di sisi lain, kesadaran kenabian memiliki tahapan
kembali kedunia realitas ini untuk menegaskan dirinya sendiri dalam membuat dan
mengatur alam semesta. Dengan
demikian dalam kesadaran profetik perjumpaan dengan Tuhan merupakan hasrat
mencari bukti serta kesaksian, suatu peneguhan dengan kesaksian untuk
mengukuhkan wujud keberadaannya.[8]
Sehingga dengannya manusia mendapatkan energi psikologis untuk menyisipkan diri
ke dalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengatasi dan melakukan kontrol
atas berbagai anomali-anomali sejarah.[9]
Berbeda
dengan para filosof Islam awal yang hanya menganggap nabi sebagai manusia
pilihan yang sanggup melakukan proses komunikasi dengan Tuhan, Iqbal
berpendapat bahwa karena nabi telah diutus sebagai Rahmatan li al-'Alamīn
(sebagai rahmat bagi alam semesta), maka penganut nabi juga tentulah perwujudan
rahmat bagi masyarakat dunia. Dunia telah diciptakan demi dia dan dia harus
bertindak didalamnya, dan jika ini berlaku bagi individu muslim, itu juga
berlaku bagi masyarakat beriman yang ideal yang menggantikan nabi. Finalitas
kenabian dengan demikian berarti sekaligus membuka jalan-jalan baru dalam
penelitian dan pandangan-pandangan ilmiah sebagai proses manusia untuk selalu
berusaha mencapai tahap kesempurnaan pribadi.[10]
Dalam
karyanya yang berjudul Javid Namah, Muhammad Iqbal menggambarkan
bagaimana besarnya pengaruh penciptaan manusia terhadap kehidupan bumi yang
pada awalnya hanya menjadi cibiran dan makian kehidupan langit. Namun demikian
keberadaan manusia tidaklah memiliki arti tanpa adanya kehendak untuk selalu
tampil. Menurutnya eksistensi ialah hasrat untuk menjelmakan diri. Hidup berarti
kemauan untuk untuk membuktikan bahwa diri ini ada. Dan bentuk yang paling
nyata dari pernyataan wujud ini terdapat dalam peristiwa mi'raj, yakni sebuah
hasrat mencari bukti serta kesaksian untuk mengukuhkan wujud.[11]
Tanpa kesaksian itu, wujud kita tidak lain bagai
warna dan aroma pada setangkai bunga. Tidak ada satupun yang dapat tegak
dihadapan-Nya. Tapi yang mampu bertahan, ia bagai emas murni. Jangan
sia-siakan, walau sejumput kecilpun, cahaya yang kau miliki.....hanya wujud
yang hidup sajalah yang patut beroleh sanjungan, sebab jika tidak, nyala api
wujud tidak lain daripada asap belaka.[12]
Untuk
sampai pada tahapan wakil Tuhan itulah manurut Iqbal, manusia sebagai
pribadi-pribadi harus memiliki gairah dan cita-cita keras untuk menempuh diri
melalui fase-fase pendidikan pribadi. Iqbal berpendapat bahwa konsepsi al-Qur’ān
tentang manusia adalah wakil Tuhan, tidak mungkin didapat dalam pribadi-pribadi
yang lemah, dengan menjadi seorang peminta, atau selalu tergantung pada pribadi
yang lain. Sebagaimana syair Iqbal dalam Asrar-i-Khudī tentang kehendak
dan gairah bahwa :
Gairah adalah ombak
kegelisahan dari samudra sang pribadi
Gairah adalah jaring yang
menjala cita-cita
Penjilid buku amal perbuatan
Meninggalkan gairah berarti
kematian bagi hidup sejati[13]
Ada
beberapa tahapan pendidikan diri sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal
dalam Asrar-i-Khudī. Pertama, dimulai dengan ketaatan terhadap
hukum-hukum Ilahi, lalu tahap penguasaan diri, dan yang terakhir tahap manusia
sebagai perwakilan Ilahi.[14]
Dalam tradisi sufistik terdapat juga tahapan – tahapan (maqām) untuk
sampai pada penyatuan diri dengan Ilahi, namun yang membedakan dengan konsepsi Iqbal,
terutama adalah pada identifikasi kesadaran pada saat pribadi sampai pada pertemuan dengan Tuhan. Dalam kesadaran
profetik identifikasi dilakukan dengan cara mengembangkan suatu kesadaran bahwa
aktivitas kreatif diri adalah aktifitas Ilahiah. Sedangkan dalam kesadaran
mistik, identifikasi diri terserap sepenuhnya dalam penyatuan dengan Tuhan,
diri menjadi hilang dan lebur di dalam-Nya.[15]
Lebih
lanjut menurut Muhammad Iqbal, kesadaran profetik (kenabian) adalah suatu cara
penghematan berpikir serta memilih secara individu dengan melengkapi
pertimbangan-pertimbangan yang sudah ada, pilihan-pilihan dan cara-cara
bertindak. Seorang nabi, kata Iqbal, dalam kepribadiannya yang hanyut ke pusat
Yang tak terbatas, sebagai bentuk pengalaman tunggal seperti halnya dalam
pengalaman sufistik adalah sebuah persiapan melompat lebih jauh dengan
energi baru untuk dapat menghancurkan yang lama serta menumbuhkan tujuan-tujuan
hidup baru . Disamping itu juga untuk mencari kesempatan membentuk kembali
kekuatan-kekutan hidup yang bersifat kolektif.
In his personality the finite centre of life sinks
into his own infinite depths only to spring up again, with fresh vigour, to
destroy the old, and to disclose the new directions of life.[16]
(Dalam kepribadiannya—seorang nabi—sebagai pusat
hidup yang terbatas pada saat hanyut ke dalam Yang Tak terbatas, hanyalah usaha
untuk melompat yang lebih jauh, dengan energinya yang baru, agar dapat
menghancurkan yang lama dan membukakan semangat hidup yang baru.)
Nampaknya
apa yang disebut Iqbal sebagai kesadaran kenabian adalah sebuah konstruksi
kehidupan yang terus mengalami proses menuju kesempurnaan, dimana manusia yang
disebut al-Qur’ān sebagai wakil Tuhan juga sangat terlibat aktif dalam proses
menuju kesempurnaan itu. Seperti halnya yang disampaikan Iqbal bahwa semua
makhluk selalu berkembang dan mengembangkan jenisnya untuk senantiasa
menyesuaikan diri dengan lingkunga sekitarnya. Dari proses penyesuaian itu
terdapat mekanisme evolusi hidup untuk selalu memperbaiki diri, sebab sesuai
dengan ajaran al-Qur’an bahwa pada dasarnya alam ini dinamis, terbatas
(waktunya), dan dapat bertambah. Dengan demikian kewajiban pribadi muslim
adalah merenungkan perjalanan semesta yang dinamis itu. Tidak membiarkannya
begitu saja sebagai orang yang tuli atau buta. Sebab orang-orang yang
membiarkan begitu saja proses perjalanan itu dalam hidupnya, ia akan tetap buta
terhadap kenyataan-kenyataan hidup yang akan datang. Dengan proses menuju tahap
kesempurnaan itu memberikan kemungkinan manusia selanjutnya untuk senantiasa
kerja kreatif. [17]
Hidup
adalah sesuatu yang terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk
senantiasa menerima cahaya-cahaya baru dari realitas yang tak terbatas yang
setiap saat muncul sebagai kemegahan yang baru.
Alam tidak sebagai sesuatu yang statis, yang
terletak dalam rongga tak terhingga, melainkan sebagai suatu truktur
peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan, dan dari hubungan-hubungan itu
kemudian lahir pengertian-pengertian tentang ruang dan waktu yang dilakukan
oleh pikiran terhadap aktifitas yang kreatif dari Ego-Terakhir.[18]
Disisi lain
kemampuan untuk terus terlibat dalam proses semesta itu juga tidak bisa
dijalankan hanya dengan bergantung pada kemampuan yang lain. Setiap individu
aktif sebagaimana dalam kesadaran kenabian harus terus menggali kekuatan
dirinya. Dalam Islam, sebagaimana kata Iqbal:
In Islam prophecy reaches its perfection in
discovering the need of its own abolition. This involves the keen perception
than life cannot for ever be kept in leading strings; that in order to achieve
full self-consciousness man must finally be thrown back on his own resources.[19]
(Dalam Islam, kenabian sampai pada kesempurnaan
bila ia sudah dapat menemukan perlunya menghapuskan diri sendiri. Ini
mengandung suatu pelajaran yang dalam, bahwa hidup tidak dapat selamanya harus
dituntun; supaya manusia dapat meningkatkan kesadaran diri sepenuhnya yang pada
akhirnya musti kembali kepada kemampuannya sendiri ).
Dengan
berpegang pada pendapatnya bahwa dunia ini adalah sesuatu yang konkret, Iqbal mencoba
menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan ilmiah yang digali dari metode
induksi, observasi kritis, dan eksperimentasi terhadap prinsip dinamisme
perjalanan semesta tersebut. Menurut Iqbal, pengalaman batin itu tidak
satu-satunya sumber pengetahuan manusia, dalam al-Qur’ān ada dua sumber
pengetahuan lain, yakni alam dan sejarah. Iqbal berusaha menjelaskan
adanya anggapan yang mengatakan bahwa metode eksperimen itu berasal dari Barat
Yunani, apalagi Eropa adalah tidak benar. Menurutnya Ibnu Hāzm telah memulai
konsepsi pengetahuan yang didasarkan pada cerapan pengindraan.[20]
Dari
selintas uraian diatas, terkait dengan kesadaran kenabian (profetik), Muhammad Iqbal
ingin menyampaikan bahwa keterlibatan manusia terhadap semesta dan sejarahya
serta dengan pengetahuan yang mendalam tentang keduanya, memberi arti
kreatif adanya hasrat hendak melihat pengalaman
religiusnya berubah menjadi suatu kekuatan dunia yang berjiwa. Yakni sebuah
hasrat mencari bukti dan kesaksian wujudnya, sebab tanpa kesaksian wujud itu
tidak lain bagai warna dan aroma pada setangkai bunga. Jika tidak dicium dan
dipandang tak adalah arti bagi aroma dan warnanya.[21]
Dengan
demikian nubūah merupakan sumber utama
kebangkitan diri. Cara berpikir yang didasarkan pada konsepsi nubūah
memberikan akal-pikiran, keimanan, disiplin dan penyempurnaan kepada
terbentuknya suatu bangsa yang besar. Dia tidak menjadikan diri menuju tingkat
subyekititas yang sempit, akan tetapi pemahaman individualitas seseorang
melalui renungan, introspeksi, pengenalan diri dan realisasi diri, pribadi akan
sampai pada kesadaran tanggung jawabnya.[22]
[1]
Muhammad Iqbal, Metafisika Persia; Sebuah Sumbangan untuk Sejarah Filsafat
Islam, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 25.
[2] Ibid,
hlm.26.
[3] Ibid,
hlm.26.
[4] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op.cit., hlm.
50-51.
[5] Ibid,
hlm. 49.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit.,),
hlm. 21.
[7] Ibid,
hlm. 118.
[8]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, terj. Mohammad Sadikin
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 8.
[9] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op.cit., hlm.
205.
[10]
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, terj. Rahmani
Astuti dan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 331-334.
[11]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab
Keabadian,op.cit., hlm. 5-8.
[12] Ibid,
hlm. 9.
[13] Muhammad
Iqbal., Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op. cit., hlm. 333.
[14] Ibid.,
hlm. 359.
[15]
Muhammad Iqbal, Metafisika Persia…, op. cit., hlm. 26.
[16]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op. cit.,
hlm. 119
[17] Muhammad
Iqbal., Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, op. cit., hlm. 209.
[18] Ibid.,
hlm. 120.
[19]Muhammad
Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In Islam, op.cit.,hlm. 120.
Lihat juga Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam,op. cit., hlm. 207
[20] Ibid.,
hlm. 211.
[21]
Muhammad Iqbal, Javid Namah Kitab Keabadian, op. cit.,
hlm. 9.
[22]
Sayyid Ali Khamene’i, ”Iqbal, Filsuf-Penyair Kebangkitan Dunia Islam”, ULUMUL
QUR’AN, No.3 Vol I/1989, hlm. 77.
Komentar
Posting Komentar